Selasa, 30 Juni 2009

Tokoh Semasa di Negeri Terjajah



SYEIKH AHMAD YASIN

Masa kecil Ahmad Yasin dihiasi dengan berbagai peristiwa dan kejadian. Dengan berbekal kesabaran dan keimanan, ia mampu melewati berbagai tantangan yang ia hadapi, hingga menjadi pemimpin para mujahid sampai kemudian Allah mewujudkan impiannnya gugur sebagai syahid di tangan kotor zionis Israel. Lalu, bagaimana situasi dan kondisi yang menyertai pertumbuhan Syaikh Ahmad Yasin? Bagaimana ia menjalani awal-awal kehidupannya? Bagaimana ia mampu mengalahkan keterbatasan fisiknya? Semua jawaban pertanyaan ini dipaparkan dalam buku ”Ahmad Yasin: al Dzahirah al Mu’jizah wa Usthurah al Tahaddi” (Ahmad Yasin: Fenomena Mena’jubkan dan Legenda Perlawanan) karya Ahmad Abu Yusuf.

Ahmad Yasin lahir pada tahun 1936 M di desa Jurah. Sebuah desa yang sangat mempersona dan indah, desa yang makmur dan kaya. Teletak di pinggiran kota Majdal sebelah selatan kota Gaza. Tepatnya di bekas reruntuhan kota bersejarah Asqelan yang teletak dekat pantai Laut Tengah, di mana perang salib terjadi. Desa tersebut dikelilingi oleh perkebunan jeruk, tin, zaitun, anggur, dan berbagai tanaman hijau lainnya. Penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan. Mereka memiliki ratusan sampan kecil untuk mengarungi lautan dari pantai Rafah ke Thanturah. Di sana terdapat lembah semut seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menegaskan bahwa lembah semut itu terdapat di negeri Syam.

Ahmad Yasin kecil biasa dipanggil dengan (kuniyah) Abu Sa’dah, dinisbatkan kepada ibundanya Sa’dah Abdullah al Hubail, untuk membedakan sebutan karena banyaknya nama Ahmad dalam keluarga Yasin. Sa’dah adalah sosok hajjah yang mulia, sabar, dan penuh keyakinan, termasuk wanita terhormat di desa tersebut. Ayah Ahmad Yasin bernama Ismail Yasin, orang terkemuka di desanya. Keluarganya termasuk keluarga yang berkecukupan. Ismail meninggal dunia ketika Ahmad masih sangat kecil, belum lewat usia 3 tahun, meninggalkan keluarga yang terdiri atas sebelas orang. Ahmad Yasin adalah anak ketiga di antara 4 anak laki-laki keluarga Ismail. Mereka tinggal bersama di desa Jurah sampai datang tahun “Prahara” 1948 ketika desa tersebut dihujani bom dari arah udara dan laut. Puluhan penduduk setempat dan penduduk desa tetangga yang mengungsi ke tempat tersebut meninggal dunia.

Ahmad yang saat itu berusia sebelas atau dua belas tahun pindah bersama keluarganya ke Jalur Gaza, tepatnya di kamp pengungsi al Shati’ dekat pantai kota Gaza. Selama kurang lebih seperempat abad Ahmad tumbuh dan belajar di kamp tersebut hingga menikah dan dikaruniahi putra dan putri. Pada masa yang penuh dengan rasa frustasi dan keputusasaan ini, cahaya dakwah gerakan Islam mulai tampak. Para dai mereka membangkitkan semangat perlawanan, keteguhan, dan harapan. Pengiriman delegasi mereka dari Mesir ke daerah Gaza tidak pernah berhenti. Dari Mesir berdatangan para guru, prajurit, cendekiawan, dan ulama seperti Syaikh Mahmud Ied dan Syaikh Muhammad Gazali. Sebelum mereka, Syaikh Hasan al-Banna sudah lebih dulu mendatangi kota Gaza. Kunjungannya merupakan awal mula keberkahan dan kebaikan bagi daerah tersebut dan penduduknya.

Ketika rumah di kamp pengungsi terasa sempit untuk menampung anggota keluarganya, juga karena banyaknya tamu dan pengunjung yang datang ke rumahnya, Syaikh Ahmad Yasin memboyong keluarganya ke lorong sebelah selatan kota Gaza, tepatnya di desa Jurah al Syams. Para relawan membangunkan rumah sederhana untuknya. Disinilah Syaikh menerima para tamu dan rekan-rekan seperjuangannya. Dia hidup dengan perabotan sederhana, jauh dari kemewahan dunia, mencukupkan diri dengan uang pension sebagai guru yang tidak seberapa besar.

Sebelum tahun “Prahara” 1948, Ahmad Yasin adalah murid kelas tiga sekolah dasar. Ketika mengungsi ke Gaza, Ahmad Yasin melanjutkan sekolah di madrasah ”Imam Syafi’i”, sekolah utama yang ada kala itu di Gaza. Sekolah ini membuka sekolah pagi (untuk siswa asli Gaza) dan sekolah sore (untuk siswa pengungsi). Ahmad Yasin menyelesaikan sekolah dasar di madrasah Imam Syafi’i tahun 1952. Kemudian melanjutkan sekolah menengah pertama di al Rimal, khusus untuk pengungsi, dan selesai tahun 1955. Adalah sebuah keajaiban yang menjadi kehendak Allah, bila Ahmad Yasin menjadi guru di sekolah tersebut di kemudian hari (mengingat cacat fifik yang dialaminya). Kemudian Ahmad Yasin melanjutkan di Sekolah Menegah Atas Palestina dan selesai pada tahun 1958. Karena sejumlah asalah akhirnya Ahmad Yasin tidak bisa melanjutkan studinya ke jenang yang lebih tinggi. Di antara sebab itu adalah: 1- Bahwa cita-cita sebagian besar keluarga Palestina di Jalur Gaza kala itu adalah menuntaskan anak-anaknya sekolah hingga tamat sekolah menengah atas untuk kemudian bekerja sebagai guru atau pegawai guna membantu ekonomi keluarga. 2- Bahwa pendidikan kala itu hampir-hampir hanya terbatas di kalangan keluarga yang berkecukupan ekonominya, di samping mereka yang dibiaya dan dikirim oleh Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina UNRWA (United Nation Agency for Relief and Work of Palestinian Refugees) untuk melanjutkan studinya dengan pesyaratan. 3- Adalah masalah kondisi kesehatan yang buruk dan tidak wajar yang dialami Ahmad Yasin. Sedangkan Ahmad Yasin tidak termasuk yang disebutkan diatas. Dia bukan dari keluarga berduit dan tidak termasuk yang dikirim Agency. Untuk itu dia lebih memilih untuk bekerja.

Sampai di sini riwayat pendidikan Ahmad Yasin, meskipun dia sendiri pernah mencoba untuk melanjutkan studi di Universitas Kairo, Mesir, dan diterima. Namun dia tidak bisa melanjutkan studinya.

Namun demikian Ahmad Yasin membekali dirinya dengan pendidikan tinggi secara autodidak. Sungguh menakjubkan, Ahmad Yasin terbukti menguasai segala bidang keilmuan mulai dari agama, bahasa, sastra, politik, sosial sampai masalah ekonomi. Dengan wawasan yang luas inilah kemudian Ahmad Yasin menjadi sumber rujukan di Jalur Gaza dan semua orang, dari berbagai lapisan, terkesan oleh ceramah-ceramah yang disampaikan. Semua orang mendengar apa yang dikatakan dan menaruh hormat. Sejatinya, semua itu bukan hanya karena wawasan dan keilmuan yang dimilikinya saja. Sebenarnya banyak kaum intelek Palestina kala itu, namun – allahu a’lam – mungkin itu semua karena sikap wara’, ikhlas, tawadhu’, energik – meski fisiknya cacat –, kecerdasan, visi yang benar, kelapangan dada dan semangat memperjuangkan agama dan tanah air, serta totalitas kerjanya diperuntuhkan hanya pada Allah.


Kecelakaan Itu

Pada awal-awal tahun 50-an – khususnya di Jalur Gaza – para pemuda Palestina mulai terbuka matanya kepada gerakan islam. Itu karena keterbukaan Mesir pada masa itu dan kontak mereka dengan para dai melalui mahasiswa-mahasiswa yang pulang ke Gaza atau melalui kunjungan para dai, ulma dan tokoh pergerakan islam dari Mesir seperti yang kami sebutkan di atas. Gerakan Islam tidak hanya menyajikan materi keislaman semata. Namun dia ibarat pendidikan yang menyeluruh. Mulai dari keilmuan hingga olah raga. Tidak jarang kegiatan oleh raga dikaitan dengan kegiatan keilmuan dan pendidikan (tarbiyah). Ahmad Yasin termasuk salah satu dari anak kandung gerakan islam ini, tepatnya gerakan al Ikhwan al Muslimun dari Mesir, semenjak dia pindah ke Gaza.

Di dekat kamp pengungsi al Shati’, pantai adalah tempat bermain yang sangat penting dan strategis. Di sana banyak dilakukan aktivitas mulai dari keilmuan yang disusul dengan kegiatan olah raga. Di antara olah raga yang dilakukan adalah melompat dari ketinggian ke pasir laut (yang indah), atau seorang naik di atas pundak yang lain saling berpegangan tangan kemudian melompat ke laut, atau bermain bola dan berbagai permainan berat lainnya. Dalam salah satu permainan di pantai pada musim panas tahun 1952 Ahmad Yasin jatuh terjungkal kepalanya, seperti diceritakan Ahmad Yasin kepada keluarganya kala itu. Namun seperti diceritakan Dr. Abdul Aziz Rantisi, “Beliau mengalami musibah patah tulang leher saat bermain gulat dengan salah satu teman beliau, asy Syahid Abdullah Shiyam (Komandan Perang “Khalda” Beirut tahun 1982 yang gugur dalam perang tersebut). Namun beliau menyembunyikan sebab-sebab terjadinya kecelakaan tersebut kepada keluarga beliau agar tidak timbul masalah antara keluarga beliau dan keluarga Shiyam. Ketika itu, beliau hanya berkata bahwa kecelakaan itu terjadi karena ia melompat di udara dan kemudian terjatuh dengan kepala terlebih dahulu. Baru pada tahun 1990 beliau bercerita yang sebenarnya kepadaku saat bersama dalam satu pernjara.”

Penyair Palestina, Muhammad Abu Diyah, yang pernah menjadi sahabat Ahmad Yasin sejak kecil menuturkan, “Kami lantas membawanya ke kamp pengungsi. Kami menduga dengan beberapa pengobatan saja – diurut dengan air dan minyak sebagaimana cara pengobatan orang-orang desa pada umumnya – ia akan sembuh. Namun, ternyata musibah itu mengancam tulang lehernya dan berpengaruh pada tulang belakangnya kemudian berakibat pada kelumpuhan sebagian tubuhnya.” Ahmad Yasin akhirnya hanya bisa berjalan dengan berjinjit sambil menyeret pasir, kadang dia harus menancapkan kakinya ke dalam pasir untuk mendapatkan keseimbangan. Bila mengenai tanah yang keras dia langsung limbung dan jatuh. Sementara itu jari-jari tangannya kaku tidak bisa digerakan. Tidak bisa memegang apapun kecuali dengan sangat sulit. Ahmad Yasin, remaja yang masih belia dan penuh canda ini, setelah peristiwa tersebut berubah menjadi orang yang serius. Dia tetap berusaha datang shalat berjamaah di masjid dan bertekad melanjutkan sekolahnya hingga tamat tahun 1958.

Muhammad Abu Diyah menuturkan, Ahmad terus melanjutkan sekolah. Ia ke sekolah berjalan kaki dengan buku dikepit di ketiaknya. Ia berjalan kaki dengan berjinjit, sementara tangannya kaku dan jari-jarinya nyaris tidak bisa memegang pulpen kecuali dengan sangat sulit. Akan tetapi, ia tetap melanjutkan studinya hingga tamat dengan prestasi memuaskan. Setelah terjadi tarik ulur antara berbagai pihak yang bertanggung jawab dalam administrasi pemerintahan Mesir saat itu dan para tokoh pendidikan, akhirnya ia ditunjuk sebagai guru. Ia adalah sosok pendidik dan dai yang luar biasa. Pada saat itu aku melihat ia berjalan beberapa langkah kemudian terjatuh ke tanah. Lalu, ia mengambil buku-bukunya dan bangkit berdiri. Kemudian ia kembali berjalan dengan penuh semangat. Ini adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan oleh orang kuat sekalipun.”

Mengenai pekerjaan, hal itu tidak didapat Ahmad Yasin dengan mudah. Selepas tamat tahun 1958, sebagaimana kebanyakan anak muda Palestina kala itu, Ahmad Yasin mencari kerja. Pekerjaan yang paling diminati kebanyakan orang kala itu adalah mengajar, baik itu di sekolah pemerintah ataupun di sekolah milik UNRWA. Untuk bekerja di lembaga yang disebut terakhir ini sangat tidak mungkin bagi AHamas Yasin meski memiliki banyak keistimewaan dan fasilitas yang diberikan. Mudir (direktur) Sekolah UNRWA kala itu Khalil Uwaidha seorang sosialis dan juga wakilnya Farid Abu Wirda seorang sosialis, bahkan bisa dibilang para pejabat pendidikan UNRWA kala itu adalah orang-orang sosialis. Tidak ada tempat lain bagi Ahmad Yasin kecuali melamar di dinas pendidikan pemerintah.

Pada pagi hari buta saat pergi ke panitia pendaftaran untuk mengikuti interview, Ahmad Yasin bertemua dengan salah seorang rekannya. Dia berkata dengan lembut kepada Ahmad untuk memberikan pertimbangan. ”Apakah kamu berfikir bahwa panitia akan menerimamu?? Sedang kamu tahu bagiamana kredibilitasnya. Dan semua orang tahu apa yang harus dilakukan orang yang ingin masuk dan diterima. Ya akhi, saudaraku, sebaiknya batalkan saja perjalananmu dan kembalilah.”

Mendengar hal itu Ahmad Yasin hanya tersenyum samblk berdiri sempoyongan di atas jari-jari kakinya. ”Wahai saudaraku, apakah kamu mengira saya pergi ke panitia untuk mendapatkan belas kasihan? Tidak, demi Allah. Saya adalah seorang muslim yang percaya kepada kuasa Allah, jika memang Allah berkehendak saya diterima maka tak seorang manusiapun mampu mencegah rizki saya. Tidakkah kamu membaca firman Allah swt, ” Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Rabb langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan. (QS. 51:22-23) Tidakkah kau ingat sabda Rasulullah yang dieiwayatkan dari Ibnu Abbas, ”Ketahuilah, sekitanya umat manusia berhimpun untuk memberikan kemanfaatan kepadamu dengan sesuatu maka mereka tidak akan bisa memberikan kepadamu kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu. Dan ketahuilah, sekiranya umat manusia berhimpun untuk mencelakaimu dengan sesuatu maka mereka tidak akan bisa mencelakaimu kecuali apa yang telah ditetapkan Allah atasmu…” Demi Allah, saya percaya pada Allah dan Dia tidak akan mencelakanku. Saya bertawakal kepada Allah dan akan meneruskan perjalanan ini.” Ahmad Yasin akhirnya meneruskan perjalanan.

Setelah wawancara, panitia pendaftaran milihat banyak keistimewaan yang dimiliki Ahmad Yasin. Namun hanya satu hal, dia pincang!!! Sedang siapapun tahu, kala itu, barang siapa yang ingin lulus maka harus membanyar sejumlah uang untuk mempermudah prosesnya. Nama Ahmad Yasin akhirnya diloloskan ke pihak otoritas pendidikan umum untuk diambil keputusan. Di depan namanya tertulis, kemampuanya sangat bagus, nilainya sangat tinggi dan sangat baik, namun dia pincang!!! Cacat itupun menjadi pertimbangan serius pihak dinas otoritas pendidikan. Namun bila Allah sudah berkehendak, siapapun tak ada yang bisa menolaknya, ketika Kepala Otoritas Pendidikan kala itu, al Fariq Ahmad Salim, anak kesayangannya lahir cacat kakinya. Segera teken di depan nama Ahmad Yasin dengan tinta merah ”diterima”. Kemudian dia memerintahkan panitia untuk menerima semua calon guru yang diajukan oleh panitia.

Ahmad Yasin kemudian kembali ke almamaternya sebagai guru bahasa Arab dan pendidikan Agama dengan gaji 10 junaih Mesir setiap bulan. Ada kekhawatiran guru yang pincang ini akan mendapatkan perlakukan buruk dan pelecehan oleh sebagian siswanya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, sosok pincang ini justru mengundang banyak kekaguman dan pernghormatan tidak saja dari murid-muridnya namun juga dari rekan-rekan guru dan wali murid.


Sosok Umat yang Utuh

Dalam sebuah artikelnya, Dr. Abdul Aziz Rantisi, tokoh yang menggantikan Syaikh Yasin memimpin Hamas sepeninggal beliau yang kemudian menjadi target pembunuhan Israel berikutnya, melukiskan tentang pribadi pendiri dan tokoh spiritual Hamas ini dengan menyebut sebagai sosok yang setara dengan umat atau umat yang terdapat pada satu sosok dirinya. Rantisi menuliskan, Syaikh Ahmad Yasin adalah seorang tokoh pemimpin yang istimewa. Dialah sosok yang ketika mendapat bencana dan cobaan, justru memperbesar tekad dan keteguhannya dalam meneruskan jalan meskipun terjal. Beliau terus menapakkan kaki dengan berkorban, memberi, dan bahkan mewujudkan berbagai target yang pada gilirannya melahirkan gerakan perjuangan Islam.

Sebuah artikel sangat tidak cukup untuk melukiskan bahkan untuk menyelami kedalaman lautan sosok ini (Syaikh Yasin), apalagi sampai ke dasarnya. Lautan sosok ini sangat dalam, dalam sekali. Karena itu, sebuah artikel, sebuah buku, bahkan sepuluh jilid atau sebanyak apapun jumlahnya, ia tidak akan bisa memuat semua keutamaannya. Sejarah akan berhenti lama untuk mendokumentasikan pemimpin berkebangsaan Palestina yang pejuang ini. Namun demikian ada beberapa bagian dari kehidupan dan sifat beliau yang perlu diungkap pada saat sekarang agar dapat dicontoh dan ditanamkan pada diri dan jiwa generasi masa depan umat Islam. Pemimpin yang satu ini memiliki tekad yang tak pernah ragu, keinginan yang tak pernah kendur, keberanian yang tak pernah surut, serta kekuatan yang tak pernah lemah.

Syaikh Ahmad Yasin memasuki usia yang kelima belas tahun ketika beliau mengalami musibah patah tulang leher saat bermain gulat dengan salah satu teman beliau, asy-Syahid Abdullah Shiyam. Meskipun musibah yang menimpa pemuda ini sangat besar, namun beliau menyembunyikan sebab-sebab terjadinya kecelakaan tersebut kepada keluarga beliau agar tidak timbul masalah keluarga antara keluarga beliau dan keluarga Shiyam. Ketika itu, beliau hanya berkata bahwa kecelakaan itu terjadi karena ia melompat di udara dan kemudian terjatuh dengan kepala terlebih dahulu. Baru pada tahun 1990 beliau memberitahukan kepadaku sebab yang sebenarnya. Yaitu ketika aku bersama beliau di dalam penjara. Artinya, empat puluh tahun sesudah kecelakaan itu terjadi. Itulah pertama kali beliau mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Keluarga beliau sendiri sampai detik ini tidak pernah mengetahuinya. Kecelakaan yang mengenaskan tersebut telah menyebabkan pemuda Ahmad Yasin terserang kelumpuhan. Betis beliau tidak bisa bergerak. Demikian pula dengan lengan beliau. Tentu saja, orang yang terkena musibah semacam ini akan menjadi lemah dan hanya bisa pasrah. Ia hanya akan menjadi orang yang terpinggirkan dan tersia-siakan. Ia menjadi beban bagi masyarakat dan tanggungan yang berat bagi keluarganya.

Akan tetapi, yang menakjubkan dan menarik perhatian, Syaikh Ahmad Yasin telah menorehkan kemenangan pertama dalam hidupnya ketika ia mampu melahirkan gerakan dari kelumpuhannya, kehendak kuat dari kelemahannya, serta kekuatan dari ketidakberdayaannya. Jadi, tekad ruhiyah Syaikh Yasin mampu mengalahkan kelemahan fisiknya. Beliau melanjutkan sekolahnya hingga menjadi seorang guru. Kemudian beliau naik ke berbagai mimbar sebagai khatib, penceramah, pendidik, dan dai yang menyeru kepada Allah dengan hujjah yang jelas. Beliau juga menyiapkan pemuda muslim untuk mengemban tugas dakwah dan menghadapi berbagai konspirasi yang ditujukan kepada bangsa Palestina. Hal itulah yang membuatnya ditangkap oleh pemerintahan Mesir pada saat itu. Sesudah kekalahan pada tahun 1967 M, Syaikh Ahmad Yasin bangkit dengan kembali mendirikan gerakan Ikhwanul Muslimun di wilayah Gaza. Beliau berhasil mendirikan bangunan tersebut dengan kesabaran, keteguhan, dan ketekunan yang luar biasa. Jarang kita melihat sosok seperti beliau di dunia modern seperti ini. Apalagi, di saat bangsa Arab dan umat Islam sedang tidur nyenyak dan berada dalam kondisi lemah, terpecah, dan kalah. Sementara, Syaikh menyambung siang dan malamnya dengan terus bergerak demi untuk mencapai impian besar dalam menyelamatkan umat dari musibah yang menimpanya.

Setelah sukses membangun kembali Ikhwan di Palestina, Syaikh mulai menyiapkan sejumlah orang untuk mencapai kemenangan lain demi kebaikan bangsa Palestina. Bahkan, demi kebaikan bangsa Arab dan umat Islam. Yang menjadi tujuan pertama beliau adalah keluar dari kondisi yang lemah dan bangkit kembali. Beliau terdorong oleh keimanan yang sangat kuat bahwa umat mampu untuk mencapai kemenangan jika memiliki tekad untuk keluar dari kekalahan dan menghentikan sikap mengekor kepada musuh. Beliau mulai melakukan persiapan untuk menghadapi perang jangka panjang yang dilakukan oleh gerakan Islam dalam melawan permusuhan zionis terhadap Palestina, serta terhadap bangsa Arab dan umat Islam. Maka, Syaikh Ahmad Yasin mendirikan sebuah sayap militer gerakan Hamas. Namun, Allah menakdirkan sayap militer ini dihancurkan di saat awal kelahirannya, yang menyebabkan Syaikh Yasin ditangkap oleh musuh. Saat diinterogasi oleh pihak zionis beliau mendapatkan siksaan yang hebat. Hal itu terjadi pada tahun 1984 M, tiga tahun sebelum kemunculan gerakan intifadhah. Beliau dihukum penjara selama 13 tahun. Namun, berkat karunia Allah, setelah sebelas bulan mendekam di penjara, beliau dibebaskan lewat kesepakatan pertukaran tawanan pada tahun 1985 M, yang dilakukan oleh seorang pejuang, Ahmad Jibril, Sekjen Front Rakyat dengan pihak zionis. Beliau keluar dari penjara dengan tekad, keinginan, dan keteguhan untuk meneruskan perjuangan.

Di saat Syaikh Yasin memunculkan gerakan intifadhah Palestina pada tahun 1987 M, sebelumnya telah didirikan sayap militer gerakan Hamas yang selanjutnya diberi nama Brigade asy-Syahid Izzuddin al-Qassam, agar gerakan Hamas, sayap militernya, dan gerakan intifadhah rakyat Palestina menyerupai deklarasi perang total terhadap musuh yang biadab. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan keseimbangan pertahanan dalam kondisi tidak adanya keseimbangan kekuatan.

Pada tahun 1987 M, beliau mendirikan gerakan perlawanan Islam (Hamas). Pada saat yang sama, dideklarasikan dimulainya gerakan intifadhah bangsa Palestina terhadap kezaliman, permusuhan, dan kesewenang-wenangan dalam bentuk pendudukan kaum zionis atas Palestina. Juga, terhadap tindakan mereka yang mengotori tempat-tempat suci, terutama Masjid al-Aqsa yang penuh berkah. Lalu, perlawanan terhadap pembantaian anak-anak, wanita, orang tua, bahkan janin yang masih berada di kandungan ibunya. Serta, perlawanan terhadap tindakan penghancuran desa-desa dan kota, pembongkaran rumah-rumah yang sedang ditempati oleh penghuninya, penebangan pohon-pohon berbuah, pembumihangusan tanah-tanah pertanian, dan penghancuran kehidupan rakyat. Syaikh Yasin memahami bahwa zionis perusak ini mempergunakan politik teror untuk mewujudkan tujuan-tujuan zionismenya yang agresor. Beliau juga mengetahui bahwa musuh dan penjahat ini tidak akan berhenti dengan politik tersebut, kecuali apabila harga yang harus dibayarkan untuk kejahatannya itu terlalu tinggi.

Syaikh Yasin ditangkap untuk kedua kalinya pada tahun 1989 M. Pihak zionis memvonisnya dengan penjara seumur hidup. Setelah delapan tahun berada di tahanan, berkat karunia Allah beliau dibebaskan akibat sebuah operasi yang gagal yang dilakukan oleh Mossad di Yordania. Yaitu operasi teror yang tujuannya ingin menghabisi nyawa sang MujAhed, Khalid Misy’al, pimpinan biro politik gerakan Hamas.

Syaikh Yasin keluar dari tahanan guna memproklamirkan kepada dunia bahwa jihad tidak akan berhenti sampai tanah Palestina merdeka secara total, bahwa satu jengkal tanahpun tidak akan dibiarkan kepada mereka, dan bahwa setiap hak rakyat Palestina akan terus dituntut, terutama hak untuk kembali bagi para pengungsi Palestina yang telah diusir dari rumah-rumah mereka sejak tahun 1948 M, disebabkan oleh teror zionis. Selain itu, beliau juga menolak segala kesepakatan dan perjanjian yang mengarah kepada penawaran untuk mendapat tanah air dan penyerahan sebagian darinya guna kepentingan zionis Yahudi yang didukung oleh kaum salibis yang dengki.

Kedengkian zionis terhadap Syaikh Yasin sampai ke tingkat menyuruh penguasa Palestina untuk menekan Syaikh Yasin. Maka, Penguasa Palestina menetapkan tahanan rumah kepada beliau dan segera merespon keinginan Israel. Akan tetapi, publik Palestina menolak hal tersebut agar beliau bisa keluar lagi meneruskan tekadnya yang kuat untuk melanjutkan perjalanan jihad.

Ketidaksenangan zionis berlanjut dan kemudian berwujud kepada usaha untuk menghabisi nyawa Syaikh dengan membom rumah yang beliau tinggali pada saat terjadinya serangan teror dengan bom seukuran seperempat ton. Akan tetapi, Allah menyelamatkan beliau. Syaikh Yasin keluar dengan selamat meskipun kerusakan yang menimpa rumah tersebut sangat parah. Ketika selamat dari upaya tersebut, ia kembali bersikeras melanjutkan perjalanan jihad. Berbagai kesulitan justru membuat beliau bertambah kuat, teguh, dan semangat mempertahankan hak-hak tanah air.


Selintas Perjalanan Syaikh Yasin

Syaikh Yasin berusia sepuluh tahun saat Inggris mengumpulkan bangsa zionis dari seluruh penjuru dunia untuk ditempatkan di tanah Palestina. Melalui kekuatan militer yang diperkuat dengan cerita bualan tentang tanah yang dijanjikan, didirikanlah untuk mereka negara yang bernama Israel pada tahun 1948.

Itulah awal tahun prahara (nakhbah) bagi bangsa Palestina. Syaikh Yasin bersama keluarganya dipaksa mengungsi ke wilayah Jalur Gaza. Untuk sementara waktu dia harus berhenti sekolah karena harus bekerja membantu kakaknya untuk mencukupi ekonomi keluarga. Tiga tahun kemudian Syaikh Yasin melanjutkan sekolah hingga terjadilah sebuah kecelakaan yang membuat seluruh tubuhnya lumpuh kecuali bagian kepalanya. Kondisi lumpuh tidak menghentikannya meneruskan studi hingga menjadi seorang pengajar bahasa Arab dan Tarbiyah Islamiyah baik di alamamaternya mmaupun di beberapa sekolah bantuan internasional (UNRWA) di Gaza.

Keterlibatannya dalam gerakan islam berbuntut pada penangkapan oleh pemerintahan Jamal Abdul Naseer karena dituduh sebagai bagian dari gerakan al Ikhwanul al Muslimun.

Ketika tokoh-tokoh gerakan Ikhwan yang berada di Gaza meninggalkan daerah tersebut untuk lari dari cengekeraman Nasser, Ahmad Yasin memiliki pandangan lain. Ia menegaskan bahwa di atas tanah itulah kehidupan dan jihad layak diwujudkan.

Ia memulai dari nol ketika kekuasaan kaum kiri dan nasionalis mencapai Tepi Barat dan wilayah Gaza sehingga ketaatan beragama lenyap dari masyarakat Palestina dalam bentuk yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Ketika ketaatan beragama dianggap sebagai bid’ah yang buruk dan simbol keterbelakangan, Syaikh Yasin tetap yakin bahwa era Islam pasti datang dan debu yang menutupi kesadaran umat akan segera hilang sehingga mereka kembali kepada akar dan rahasia kemuliaan mereka. Syaikh Yasin merancang bangunan tersebut: dari shalat ke shalat, dari masjid ke masjid lain. Syaikh menanamkan benihnya di tanah Isra dan Mi’raj seraya memberikan kabar gembira akan datangnya hari esok yang lebih baik.

Usahanya tidak hanya terbatas pada wilayah Gaza, tempat ia mendirikan Majma’ Islami, sebuah sebuah lembaga Islam yang lengkap, mencakup bidang sosial, kemasyarakatan, dan dakwah. Bahkan, beliau meluaskan upayanya hingga mencapai Tepi Barat yang menjadi tempat berkembangnya aliran kiri, nasionalis dan sekuler.

Di akhir 1970-an dan di awal 1980-an, pohon yang dibangun Syaikh Yasin sudah mulai membesar sedikit demi sedikit. Pihak-pihak lain di negara Palestina mulai menyadari bahayanya. Mereka menghadapi upaya Syaikh Yasin dengan menuduhnya sebagai agen penjajah sebab tidak memproklamirkan perlawanan bersenjata. Akan tetapi, Syaikh Yasin memahami tindakannya. Perlawanan tidak boleh tegak di atas pondasi yang lemah. Ia harus tegak di atas dasar-dasar yang kokoh dan kuat.

Pada tahun 1983, Syaikh Yasin merasa bahwa telah tiba saatnya untuk melakukan persiapan fisik dan materil sesudah melakukan persiapan spritual secara baik. Hal itu terlihat dengan berkembangnya sikap religius di masyarakat dan munculnya kekuatan gerakan Islam sebagai kekuatan kedua di berbagai universitas dan asosiasi. Bahkan di beberapa komunitas ia mulai mengungguli gerakan pembebasan.

Oleh pihak militer, Syaikh Yasin dianggap telah melakukan pengumpulan senjata, membentuk pasukan militer dan menyerukan pelenyapan eksistensi negara Yahudi. Karenanya, beliau ditangkap bersama koleganya kemudian dihadapkan ke mahkamah militer Israel dan divonis 13 tahun penjara, sementara hukuman yang lebih lama diberikan kepada sejumlah koleganya. Di antaranya kepada Syaikh asy Syahid Solah Syahadah. Hal itu berlangsung selama dua tahun. Pada tahun 1985, Syaikh Yasin keluar dari penjara berkat proses pertukaran tahanan dengan Front Rakyat yang dipimpin oleh Ahmad Jibril dengan pihak Israel, setelah beliau mendekam selama 11 bulan dalam penjara rezim Imperialis Israel

Fase itu adalah fase keputusasaan. Organisasi PLO mengalami kekalahan di Beirut. Kondisi negara-negara Arab juga sedang jatuh. Tawar-menawar dilakukan di sana-sini guna mengembalikan pengakuan internasional terhadap Palestina.

Syaikh kembali menghembuskan Gerakan Perlawanan Islam Palestina kalangan para pemuda lewat berbagai masjid yang telah menjadi simbol dalam melawan penjajah. Pihak terakhir ini merasa telah berhasil melenyapkan upaya perlawanan masyarakat Palestina, di luar dan di dalam.

Maka pada penghujung tahun 1987, tepatnya tanggal 14 Desember 1987, pada masa penuh berkah terkait dengan munculnya gerakan intifadhah pertama, Syaikh bersama tiga koleganya: asy Syahid Solah Syahadah, asy Syahid Ibrahim al Muqadimah, dan asy Syahid Abdul Aziz Rantisi, mengumumkan pendirian Gerakan Perlawanan Islam yang dikenal dengan nama “Hamas”. Pada akhir bulan Agustus 1988, militer Imperialis Israel menyerbu rumah kediaman beliau di Gaza. Mereka melakukan pengeledahan dan mengancam membuang beliau dengan kursi rodanya ke Lebanon.

Lewat perjalanan gerakan intifadhah yang pertama, Hamas menjadi penggerak utama sampai-sampai gerakan intifadhah disebut dengan revolusi masjid karena menjamurnya ceramah Islam yang disampaikan oleh Syaikh Yasin di berbagai acara dari masjid ke masjid.

Otoritas penjajah menyadari bahaya peran yang dimainkan oleh gerakan Hamas dalam intifadhah. Sementara Syaikh Yasin sendiri menyadari bahwa lemparan batu semata tidak cukup untuk memberikan rasa sakit ke tubuh penjajah.

Pada mulanya dan dengan melihat kepada minimnya potensi yang ada, gerakan tersebut dengan dipimpin oleh Syaikh Yasin dimulai dengan perang menggunakan pisau. Selanjutnya di awal tahun 1989 berkembang menjadi perlawanan bersenjata dan sampai kepada penculikan tentara Israel. Akibatnya, pada tanggal 15 Juni 1989 (referensi lain menyebutkan tanggal 17 Mei 1989) rezim penjajah menangkap Syaikh Ahmad Yasin bersama kurang lebih 260 pimpinan Hamas lainnya. Israel punya alasan, penangkapan dilakukan sebagai upaya menghentikan perlawanan bersenjata yang terjadi ketika itu yang mengambil bentuk serangan dengan menggunakan as silah al abyadh (senjata putih), yakni selain senjata api, terhadap serdadu-serdadu Israel, warga Yahudi serta penculikan terhadap agen-agen Israel.

Pada tanggal 16 Oktober 1991, mahkamah militer Imperialis Israel mengeluarkan keputusan (tanpa sidang pengadilan) dengan memvonis Syaikh Ahmad Yasin berupa penjara seumur hidup ditambah 15 tahun kurungan, setelah disodorkan daftar tuduhan sebanyak sembilan item. Di antaranya seruan (provokasi) penculikan dan pembunuhan terhadap serdadu-serdadu Imperialis Israel, pendirian Gerakan Hamas beserta sayap militer dan dinas keamanannya.

Penahanan Syaikh Yasin beserta sebagian besar pimpinan gerakan Hamas di wilayah Gaza dan Tepi Barat tidak menghentikan perjuangan. Justru hal itu membentuk simpati yang membuat Hamas menjadi lebih berkembang dan lebih besar. Dalam kurun waktu antara tahun 1989-1993 wilayah Gaza berubah menjadi neraka yang menakutkan bagi para agresor. Brigade al Qassam, sayap militer Gerakan Hamas juga menjadi alat yang menyulitkan penjajah, sesuatu yang mempercepat terselenggaranya kesepakatan Oslo. Tujuannya adalah untuk melepaskan diri dari tekanan perlawanan yang dilakukan oleh Hamas dalam menghadapi tentara penjajah.

Bertahun-tahun Syaikh Yasin menjadi tahanan penjara musuh. Namun, spirit dan pernyataannya yang keluar dari dari penjara menghiasi perjalanan gerakan tersebut yang semakin membesar di mata orang Palestina serta di mata dunia Arab dan Islam. Terutama setelah munculnya gerakan mati syahid yang ditetapkan oleh Gerakan Hamas dalam melawan penjajah yang dipimpin oleh asy Syahid Yahya Ayyas yang mati syahid setelah dibunuh pada tanggal 15 Januari 1996.

Bertahun-tahun Syaikh mendekam di penjara dengan menolak tawaran perkaranya diadili. Sementara itu gerakan Hamas terus berkembang dan para penjajah menyadari ancaman eksitensi yang belum pernah dikenal dalam sejarah mereka sebelumnya. Hal ini seperti yang diakui oleh Ya’kub Beiri dalam bukunya, Datang untuk membunuhmu… Bunuh Ia segera!, yang mencatatkan sejarah perlawanan gerakan Hamas di masa asy-Syahid Yahya Ayyas dan sesudahnya.

Rabu pagi, tanggal 1 Oktober 1997, Syaikh Ahmad Yasin dibebaskan berkat perjanjian yang berlangsung antara Jordania dan rezim Imperialis Israel, dengan kompensasi penyerahan dua agen (antek) Zionis yang tertangkap di Jordania setelah mereka gagal dalam upaya pembunuhan terhadap al-Akh Khalid Misy'al, Kepala Biro Politik Hamas di Amman pada tanggal 25 September 1997.

Setelah melanglang buana ke negara Arab, Syaikh kembali ke wilayah Gaza yang menyambutnya bak pahlawan. Sang Pemimpin itupun kembali mengawasi anak-anaknya.

Pada tanggal 28 September 2000 perjalanan gerakan intifadhah untuk al-Aqsa mulai muncul dengan Syaikh Yasin sebagai pemimpinnya. Ketika para pimpinan politik ditangkap dan dibunuh di Tepi Barat, wilayah Gaza relatif tidak terjangkau oleh penjajah. Hal itu karena ia memang sulit dijamah. Hanya saja, kekuatan dan kehadiran pimpinan di Gaza, terutama Syaikh Yasin, telah menyulut emosi penjajah. Mereka mulai melakukan gelombang pembunuan terhadap para pemimpin militer dan politik. Maka, dibunuhlah Syaikh Solah Syahadah, Ibrahim al Muqadamah, Ismail Abu Syanab serta puluhan pimpinan sayap militer lainnya termasuk pengganti Syaikh yasin, Dr. Abdul Aziz Rantisi yang dibunuh Israel pada 17 April 2004, kurang dari sebulan setelah pembunuhan Syaikh Yasin. Upaya pembunuhan juga dilakukan atas diri Dr. Mahmud Zehhar namun upaya itu gagal.

Pembunuhan terhadap diri Syaikh yasin memang sudak diperkirakan oleh semua pihak. Terlebih setelah aksi heroik di Asdod pada tanggal 15 Maret 2004 oleh dua pejuang Palestina dari Gaza, penjajah Zionis memutuskan oparasi pembunuhan dengan target para pimpinan gerakan politik guna melemahkan eksistensi gerakan perlawanan. Maka pada Senin 22 Maret 2004, selepas keluar dari masjid usai menunaikan shalat subuh, mobil yang ditumpangi Syaikh Yasin dibombardir tiga rudal yang ditembakan pesawat heli tempur Apache buatan Amerika. Syaikh Yasin gugur syahid bersama delapan orang lainnya. Di antara mereka adalah para pendampingnya. Itulah akhir kehidupan yang memang ia inginkan dan telah menjadi kehendak Allah.

Syaikh Yasin gugur syahid setelah menyempurnakan bangunan perlawanan dan merasa tenang karena bangunan tersebut sangat indah, kuat, dan kokoh. Juga, setelah ia menciptakan kemenangan yang diketahui oleh seluruh dunia lewat keputusan Sharon yang lari dari wilayah Gaza dengan dissengagement pan-nya.

Syaikh Yasin telah meninggal. Namun, perjalanan yang ia wujudkan dengan segala kesungguhan, perjuangan, dan ruhnya akan terus maju hingga menghabisi penjajah. Kita telah kehilangan seorang pahlawan yang menjadi legenda, seorang syaikh yang mulia, dan seorang pendidik utama. Ia menginginkan tanah air nenek moyangnya. Ia hendak mewujudkan haknya. Ia ingin agar seluruh rakyat hidup dengan damai di tanah air yang merdeka dan bahagia. Ia menuntut hak rakyat Palestina yang terkoyak oleh keputusan boneka PBB, oleh gerakan zionis serta oleh antek-anteknya, juga pengkhianatan sejumlah pimpinan tentara Arab di tahun 1948 dan sesudahnya.

Syaikh Ahmad Yasin memang telah meninggalkan dunia. Namun, ia tidak lenyap dari jiwa rakyat Palestina dan kaum muslimin. Ia adalah sosok yang melegenda. Ia hanya punya kursi roda, kepala, dan hati semata. Itulah fisik dan kondisi Ahmad Yasin. Namun, ia telah membuat takut Israel dan para sekutunya, membuat takut Israel dan agen-agen intelijennya, membuat takut beruang buas dan “penjagal” Sharon yang merubah haluan pesawat berikut rudalnya kemudian diarahkan menuju kursi roda yang sedang ditumpangi tubuh yang lumpuh itu. Selamat jalan Amir Mujahidin, Guru Perlawanan Palestina. Semoga Allah menempatkanmu di sisinya bersama para anbiya’, syuhada’dan shidiqin karena mereka itulah sebaik-baik teman.(wedangjae.com)

Tidak ada komentar: