Senin, 21 Juli 2008

Menerima Upah Dalam Melakukan Ibadah



oleh : Azhari Syarqawi

Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT. Wujud pengabdian manusia kepada Allah adalah dengan sekuat tenaga dan sepenuh hati, mengerjakan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan, dan hanya mengharap ridha-Nya. Perjuangan dan keikhlasan mendalam sangat diperlukan dalam melakukan segala amalan. Tidak mengharapkan apapun kecuali pahala dan ridha-Nya, sehingga wujud ketaatan seorang hamba tidak dirusak oleh unsur-unsur duniawi. Apalagi amalan tersebut sudah menjadi kewajiban untuk melaksanakannya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang menerima upah dalam menjalankan ketaatan kepada Allah ta'ala. Ada yang mengharamkan ada pula yang menghalalkan dengan berpijak kepada dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur'an dan sunnah yang shahih.
Orang yang membaca al-Qur'an tidak akan lepas dari salah satu 4 hal berikut,

1. Membaca al-Qur'an dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ta'ala, seperti mendekatkan diri pada-Nya dengan berdzikir.
2. Membaca al-Qur'an agar orang lain bisa mengambil manfaat dari bacaannya, baik berupa ilmu tajwid atau hikmah yang terkandung dalam ayat yang dibaca.
3. Membaca al-Qur'an untuk pengobatan yang dikenal dengan istilah ruqyah.
4. Membaca al-Qur'an dan pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal.

Para penceramah atau da'i tergolong kepada kelompok kedua. Karena yang mereka jelaskan adalah ayat-ayat dan hadits-hadits. Pertanyaan yang muncul, bolehkah mereka menerima upah/pemberian dari apa yang mereka lakukan? Dalam masalah ini ulama terbagi kepada dua kelompok, ada yang mengharamkan dan ada yang menghalalkan.

Dalil-dalil yang Mengharamkan

• Surat al-Baqarah (QS 2 : 41)
• Surat Huud (QS 11 : 15-16)
• Hadits Utsman bin Abi al-'Ash, dia berkata : Sesungguhnya nasehat terakhir Rasulullah Saw kepadaku adalah barangsiapa yang menjadi muadzin, janganlah ia mengambil upah atas adzannya (HR Turmudzi) Hadits hasan shahih.
• Dari Ubay bin Ka'ab, dia berkata : Saya telah mengajari seorang lelaki membaca al-Qur'an, lalu dia menghadiahkan busur panah kepadaku. kemudian aku beritakan hal ini kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw bersabda : " Apabila kamu mengambilnya, maka kamu telah mengambil busur panah yang terbuat dari api neraka ". Maka aku kembalikan busur tersebut (HR Ibnu Majah) Hadits lemah (Mursal)
• Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad yang artinya " Bacalah olehmu al-Qur'an, jangan berlebih-lebihan, jangan mengumpulkan, jangan makan dengannya, dan jangan menyombongkan diri ".
Ulama yang mengharamkan menerima upah dari ketaatan adalah kalangan ulama Hanafiyyah dan Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa segala sesuatu yang bersifat ketaatan kepada Allah merupakan kewajiban bagi setiap individu. Kewajiban tersebut harus dilakukan tanpa mengharapkan balasan berupa upah atau hadiah. Karena balasan itu akan dia dapatkan di akhirat nanti.
Apabila seseorang melakukan ketaatan, berharap mendapatkan upah maka dia seperti memperjual belikan perintah Allah dengan harga yang sangat murah. Murah karena bisa diukur dengan benda. Sesuatu akan disebut murah selama masih bisa ditakar dan dihargai dengan benda atau uang. Dia juga seperti orang yang hanya memperkaya diri dan mencari kesenangan dunia. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda : " Barangsiapa yang mencari ilmu tujuannya adalah untuk mendapatkan dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga ". Scara menuntut ilmu adalah suatu bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Namun ulama Hanafiyyah dan Hanabilah membolehkan pemberian hadiah atau upah apabila diambil dari baitul mal kaum muslimin. Begitu juga kalangan Hanafiyyah yang datang belakangan, membolehkan menerima upah dari ketaatan dalam kondisi darurat atau sangat membutuhkan.
Apabila diberi hadiah karena berbuat ketaatan, hendaknya segera dikembalikan, seperti sahabat yang mengembalikan hadiah berupa busur panah. Menerima hadiah atau upah dapat merusak keikhlasan seseorang dalam beribadah. Inilah kesimpulan dari pendapat kelompok yang mengharamkan menerima hadiah atau upah dari hasil ketaatan.

Dalil-dalil yang Membolehkan

• Surat al-Baqarah (QS 2 : 41)
• Surat Huud (QS 11 : 15-16)
• Rasulullah Saw bersabda : " Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak untuk diambil upah atasnya adalah dari al-Qur'an ". (HR Bukhari ) Maksudnya, upah yang lebih berhak diambil adalah yang berasal dari al-Qur'an, baik itu hasil mengajar membaca al-Qur'an, atau menjelaskan makna-maknanya (da'i) .
• Dari Sahal bin Sa'ad berkata : " Kami sedang duduk bersama Rasulullah Saw, kemudian datang seorang perempuan dan memperlihatkan dirinya kepada Rasulullah Saw, maka Rasulullah menundukkan pandangannya dan kemudian mengangkatnya kembali, dan beliau tidak menyuruh perempuan itu pergi. Maka salah seorang sahabat berkata :
' Ya Rasulullah ! Nikahkan aku dengannya '.
Rasulullah Saw berkata : Apakah engkau punya sesuatu (untuk mahar)?
Lelaki itu menjawab : Tidak .
Rasulullah Saw berkata : Walau cuma cincin dari besi ?!
Lelaki itu menjawab : Saya tak punya apa-apa, walau itu cincin dari besi, tapi saya akan sobek kain ini, separuh saya serahkan untuk mahar, separuh lagi untuk saya pakai…
Rasulullah Saw menjawab : Tidak ! Apakah kamu menguasai sesuatu dari al-Qur'an ?
Dia menjawab : Ada ya Rasulullah…
Rasulullah Saw berkata : Pergilah dan kunikahkan engkau dengan mahar apa yang kau kuasai dari al-Qur'an ". (HR Bukhari)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah Saw telah menikahkan seorang sahabat dengan mahar " apa yang dia kuasai dari al-Qur'an " yaitu mengajarkan istrinya membaca al-Qur'an . Mengajarkan istri membaca al-Qur'an adalah pengganti mahar. Secara tidak langsung Rasulullah Saw menjadikan upah dari mengajarkan al-Qur'an tadi sebagai mahar perkawinan.
• Dalam shahih Bukhari dan Muslim terdapat satu riwayat,
" Beberapa orang sahabat lewat di salah satu kampung. Warga di sana tidak menyambut mereka dengan baik. Ketika itu, kepala kampung daerah itu tersengat binatang berbisa. Datanglah mereka menghadap kepada para sahabat, lalu bertanya :
' Apakah ada di antara kalian yang bisa meruqyah, kepala kampung kami disengat ".
Abu Said al-Khudri berkata : Aku akan meruqyahnya jika kalian melayani kami sebagai tamu dan memberi aku upah.
Maka disepakatilah upahnya sebesar lebih kurang 30 ekor domba. Lalu berangkatlah Abu Sa'id al-Khudry dan meruqyahnya dengan surat al-Fatihah. Setelah itu dia menggiring domba-domba yang jadi upahnya. Sahabat yang lain protes : Engkau mengambil upah atas kitab Allah ?! Para sahabatpun bercerita kepada Rasulullah Saw, lalu beliau bersabda : " Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak untuk diambil upah atasnya adalah dari al-Qur'an ".
• Dari Kharijah bin Shalt, dia berkata : Sesungguhnya telah kami katakan, bahwa temanmu ini datang dengan membawa kebaikan, apakah dia membawa sesuatu yang bisa mengobati penyakitnya ? Maka aku meruqyahnya dengan surat al-Fatihah. Lalu dia berkata : Lakukan ini selama tiga hari dan setiapnya dua kali. Maka sembuhlah dia, kemudian aku diberi 100 ekor domba. Setelah itu aku mendatangi Rasulullah Saw dan mengabari beliau. Beliau berkata : Ambillah ! aku bersumpah atas umurku, bahwa ada orang yang mengambil upah dari ruqyah dengan cara yang salah (bukan dengan al-Qur'an), sedangkan kamu telah mengambilnya dengan cara yang benar (HR Ahmad)
• Dari Abdullah bin as-Sa'dy : Umar telah memakai jasaku untuk mengumpulkan zakat. Setelah aku selesai mengumpulkan kemudian diserahkan kepada Umar, dia memerintahkan agar aku diberi upah. Aku berkata : " Semua kukerjakan ikhlas lillahi ta'ala ". Umar pun menjawab : " Aku juga pernah menjadi amil zakat semasa Rasulullah Saw, lalu aku diberi upah, maka aku berkata seperti yang engkau katakan tadi (semua kukerjakan dengan ikhlas lillahi ta'ala) Rasulullah Saw pun bersabda : " Apabila engkau diberi sesuatu tanpa meminta-minta maka makanlah dan sedekahkanlah !" (HR Bukhari dan Muslim)
Kalangan Malikiyyah dan Syafi'iyyah membolehkan untuk menerima upah atau hadiah dalam mengerjakan ketaatan, berdasarkan dalil-dalil di atas. Walaupun dalil ayat yang mereka gunakan sama dengan dalil ayat orang yang mengharamkan. Jadi secara zhahir, hadits yang mereka gunakan menunjukkan bahwa seseorang boleh menerima upah atau hadiah dari yang mereka lakukan, walau pekerjaan tersebut merupakan kewajiban bagi setiap individu.

Analisa Para Ulama Terhadap Dalil-Dalil yang Dikemukakan

Ayat pertama yang dijadikan dalil bagi orang yang mengharamkan adalah ditujukan pada awalnya kepada rahib-rahib yahudi yang tidak mau mengajarkan agama kecuali jika mereka diberi gaji. Mereka enggan mengajarkan agama apabila upahnya tidak sesuai dengan keinginan mereka. Termasuk juga da'i-da'i yang mau menukar kebenaran dengan kebatilan apabila ada bayaran. Haram bisa jadi halal, begitu juga sebaliknya. Maka itulah yang dianggap dengan memperjual belikan agama dan kebenaran dengan materi.
Sedangkan ayat kedua maksudnya adalah orang-orang yang menjadikan materi dunia sebagai tujuan dia beribadah. Di dalam hatinya yang menjadi tujuan adalah materi. Orang-orang seperti akan mendapatkan apa yang mereka niatkan, mereka akan dapat uang dan materi, tapi itu cuma di dunia. Sementara di Akhirat mereka akan merasakan api neraka, sebagaimana yang disebutkan oleh ayat. Tidak termasuk kedalam makna ayat, orang-orang yang niatnya ikhlas untuk mencari ridha Allah, kemudian tiba-tiba tanpa diminta, ada saja orang yang memberinya sesuatu. Berdasarkan kepada hadits Abdullah bin al-Sa'dy, kita boleh menerimanya tanpa merubah niat awal yaitu mencari ridha Allah SWT. Kalau seandainya niat berubah gara-gara pemberian, maka kami berpendapat lebih baik jangan diterima karena dikhawatirkan jatuh kepada ria (syirik kecil).
Adapun hadits-hadits yang dikemukakan oleh kelompok yang mengharamkan, menurut mayoritas ulama hadits-hadits tersebut tidak lepas dari kelemahan (hadits dhaif) dan dalam kaidah ilmu hadits, hadits lemah tidak bisa dijadikan dalil dalam masalah halal dan haram. Hadits tentang busur panah adalah hadits munqathi' (silsilah perawinya putus-putus). Hadits yang mungkin bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan menerima upah dari ketaatan adalah hadits Utsman bin Abi al-'Ash tentang larangan mengambil upah bagi muadzin. Akan tetapi ada hadits yang lebih kuat darinya, yang secara zahir membolehkan menerima upah dari ketaatan seperti hadits " Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak untuk diambil upah atasnya adalah dari al-Qur'an ". (HR Bukhari ) begitu juga hadits ruqyah dan amil zakat.
Upah atau bayaran terbagi kepada dua yaitu, upah yang bersifat ukhrawi dan upah yang bersifat duniawi. Upah yang bersifat ukhrawi adalah pahala yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba yang beribadah kepada-Nya tanpa ada unsur riya dalam hatinya. Upah yang bersifat duniawi adalah mendapatkan sesuatu di dunia yang diberikan oleh sesama. Setiap pekerjaan memiliki dua aspek tersebut dan setiap manusia berhak atas keduanya dalam batasan dan syarat yang ditentukan,yaitu :

1. Menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan beramal, seandainya bayaran tersebut merubah tujuan amal, maka sebaiknya jangan diterima.
2. Tidak meminta-minta
3. Tidak menentukan besar kecilnya bayaran

Dalam sejarah Islam, ketika Abu Bakar al-Shiddiq diangkat jadi khalifah, pada awalnya juga tak bergaji. Tentu saja beliau tetap bekerja mencari nafkah. Ketika para sahabat melihat hal itu mereka berkata : " Kenapa engkau masih bekerja, bukankah engkau punya kewajiban (mengurus umat) ". Dikhawatirkan, beliau terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga urusan umat terbengkalai atau jadi urusan nomor dua. Waktu itu beliau menjawab : " Kalau aku tidak bekerja, bagaimana aku bisa membiayai keluarga ?" Maka ditetapkanlah gaji untuk beliau yang diambil dari baitul mal. Pertanyaannya adalah, jika mengurus umat adalah suatu amanah, dan menjalankan amanah adalah suatu kewajiban dalam agama, kenapa beliau masih menerima gaji ?
Begitu juga pada masa dinasti-dinasti Islam. Para qadhi di waktu itu mendapat upah dari pekerjaan mereka. Padahal yang menjadi tugas mereka adalah mengajarkan agama pada orang lain (bertindak sebagai mufti). Tujuan para qadhi diberi gaji, agar mereka fokus dengan tugas tanpa mengkhawatirkan kebutuhan hidup istri dan keluarganya. Hal ini juga mendorong orang untuk meluangkan waktunya untuk mempelajari agama dan mengajarkannya pada orang lain tanpa cemas dengan ekonominya. Selama syarat-syarat yang telah kita sebutkan di atas terpenuhi, maka dibolehkan untuk menerima upah atau pemberian yang didasari niat baik sebagai balasan dari ketaatan. Inilah balasan Allah kepada orang yang berbuat baik di dunia.
Dari uraian di atas, kita menyimpulkan bahwa pendapat yang membolehkan menerima upah atau hadiah dari ketaatan, lebih kuat dalilnya daripada yang mengharamkan, karena beberapa faktor berikut,

• Hadits yang membolehkan lebih kuat dari hadits yang mengharamkan.
• Upah yang diterima sesuai dengan pekerjaannya dan tidak berlebih-lebihan.
• Yang dimaksud dengan memperjual belikan agama yang disinggung oleh ayat adalah karena adanya keengganan para agamawan menyampaikan pesan-pesan agamanya. Mereka mau menyampaikan setelah diberi upah sesuai dengan keinginan mereka. Juga termasuk kepada memperjual belikan agama dengan harga murah adalah orang yang mendapatkan bayaran atau upah untuk merubah-rubah hukum Allah seperti, menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal. Tidak termasuk ke dalam makna ayat orang yang ikhlas tanpa mengharapkan balasan kecuali dari Allah, tiba-tiba dia diberi hadiah atau upah oleh manusia. Dia tidak meminta, juga tidak menentukan upahnya berapa, dan niat dalam hatinya tidak berubah gara-gara pemberian tersebut.
• Kegiatan yang dilakukan sering menyita waktu dan tenaga para pelakunya, sementara mereka punya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarga.

Beberapa Cerita yang Bisa Jadi I'tibar Bagi Kita

Pernah nonton film 'Kiamat Sudah Dekat' ? Dalam film tersebut digambarkan bagaimana seorang pemuda mati-matian mengejar seorang gadis (padahal saingannya orang kairo lho ). Si pemuda bisa menikahi sang gadis kalau sudah menguasai ilmu ikhlas. Berjuanglah dia mencari ilmu ikhlas. Selama ini tujuan dia shalat, puasa, belajar agama adalah agar calon mertua terkesan kepadanya sehingga lamarannya diterima. Tapi lama kelamaan dia sadar, sehingga dia mengatakan : " Saya sekarang sangat puas, walaupun nanti saya tidak lulus dan tidak jadi menikahi anak bapak. Karena saat ini saya dan keluarga, sedikit banyaknya telah mengenal agama. Dulu tidak tahu cara shalat, sekarang sudah tahu. Dulu shalatnya bolong-bolong, sekarang tidak lagi. Dulu tak kenal puasa, sekarang sudah bisa dll…"
Ketika itu menikah atau tidak sudah tak jadi pikirannya lagi. Yang terpatri di hati saat itu adalah kesadaran belajar agama tanpa ada iming-iming dari manusia. Ketika itu, bapak si gadis berkata : " nah…itu dia yang namanya ikhlas !" Sekarang pertanyaannya adalah apakah agama melarang, jika si bapak ingin menikahkan anaknya dengan pemuda tadi ? Apakah ada perintah untuk menolak tawaran bapak tersebut ? Mungkin sebagian orang menyangka, jika dia terima tawaran si bapak, berarti dia tidak ikhlas lagi…yang ikhlas itu adalah menolak tawaran si bapak…bisakah kita pakai cara berpikir seperti itu ? Silahkan dipikir-pikir…sampe matang…
Satu ilustrasi…seseorang ustadz dengan niat ikhlas pergi ceramah ke mesjid, setelah ceramah, ada pengurus yang memberinya amplop. Dia tidak meminta dan tidak mematok besarnya berapa. Bisakah kita mengatakan, kalau dia menerimanya,berarti tidak ikhlas, yang ikhlas adalah kalau dia menolak pemberian tersebut…jawabannya, tidak bisa! Karena ada juga yang tidak mau menerima dengan tujuan agar orang-orang mengatakan kalau dia itu ikhlas, dia itu orang shaleh! Kalau tujuan itu, jelas dia telah jatuh kepada riya. Jadi ini adalah masalah hati. Kalau sudah bicara tentang hati, maka itu sangatlah sulit karena tidak ada yang bisa tahu secara pasti isi hati orang lain. Oleh karena itu jangan terlalu cepat men 'judge' seseorang ikhlas atau tidak hanya berdasarkan menerima amplop atau tidak.
Kalau kita sih berpendapat, seseorang punya tanda-tanda keikhlasan, yaitu amalannya sama ketika dilihat orang atau tidak. Ketika dikeramaian dia rajin ibadah, ketika sendirian pun dia rajin beribadah. Sama kualitas amalnya baik ketika terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Apabila terjadi perbedaan maka itu adalah salah satu dari tanda-tanda riya. Dikasih amplop atau tidak, dia tetap rajin berdakwah.
Ilustrasi kedua…Pergi ceramah ibarat pergi ke sawah. Niat awal adalah ingin menanam padi. Ketika tiba di sawah, kita melihat ada belut. Apakah dilarang menangkap belut tersebut dengan alasan niat awal kita bukanlah untuk itu ? Jawabnya, silahkan tangkap tanpa menghilangkan niat awal…kita tidak meminta adanya belut, tidak pula menetapkan harus sekian ekor…begitu juga dengan ceramah, niat hanya mencari ridha Allah, tiba-tiba ada amplop, kita tak meminta, juga tidak menentukan besar kecilnya, silahkan terima dengan syarat tidak merubah niat. Intinya, amplop adalah bonus dari Allah bagi da'i, sebagaimana belut menjadi bonus bagi orang yang menanam padi.
Sewaktu masih kuliah di al-Azhar, ada seorang dosen bernama Dr. Ahmad Salim Syarqawi, beliau memegang mata kuliah tafsir dan ilmu-ilmunya. Pada suatu kesempatan, kita mengundang beliau untuk memberikan ceramah di sekretariat KMM (Kesepakatan Mahasiswa Minang), setelah acara selesai, kebiasaan di indonesia…penceramah diberi amplop, maka kebiasaan tersebut terbawa ke Mesir. Ternyata respon beliau diluar dugaan, sungguh luar biasa! Muka merah mata mambulalang, katanya : " Ana za'lan minka awi awi awi…" (saya sangat-sangat-sangat marah kepadamu). Sudah 1.5 tahun bergaul dengan Dr. Ahmad, satu kali pun tak pernah beliau marah besar. Jangankan marah besar, marah kecil aja tak pernah. Waktu itu kita nanya : " Kenapa ya Doktor Ahmad ?" Padahal khan cuma ongkos jalan. Beliau menjawab : " Kesediaan kalian mau mendengar apa yang saya sampaikan, itu sudah lebih dari cukup ".
Memang seh, di tempat kami kuliah, jarang sekali dosen-dosen yang bisa memberikan pelajaran di luar perkuliahan. Bahkan wirid-wirid pengajian yang biasa di Indonesia sesudah subuh dan maghrib sangat jarang di sana. Maka wajar saja beliau sangat senang diberi kesempatan untuk bisa mencurahkan ilmu yang dimilikinya pada orang lain. Tau ngak, komentar yang keluar ketika kita ceritakan pengalaman ini…
" Ndak mungkin gai tu doh, dongeng tu mah, masa ada yang gak mau duit ?!"
" Kalau dosen seh mungkin, karena gajinya udah besar. Lagian khan cuma sekali-sekali, berarti ceramah gratisnya juga cuma sekali-sekali ".
" Ah, itu khan ustadz sajo yang mangarang-ngarang…"
" Hari gene…ada yang begitu, mustahil !"
Masih banyak komentar lain yang membuat kuping jadi merah. Tapi biarkan saja mereka berkomentar seperti itu…yang jelas
نبح الكلا ب لا يضر السحاب
Salak guk-guk takkan merusak mega
Bagai guk-guk menyalak di ekor gajah…makian dan ejekan dari orang-orang yang tidak mengerti tidak bisa merusak perbuatan baik.
Ada beberapa orang da'i yang sudah mencoba untuk tidak menerima amplop. Tapi dampaknya juga di luar dugaan. Ada yang sesudah ceramah langsung menghilang, sehingga pengurus pun kebingungan, bersusah payah mencari alamat rumah si ustadz, pusing keliling-keliling. Ketika bertemu, ustadz itu mencoba untuk menolak, tapi apa jawab pengurus mesjid : " Iko amanah dari jemaah, kalau ustadz ndak tarimo,ambo beko bisa dituduah macam-macam dek pengurus lain. Iko adolah hak ustadz !" . Jadi ndak di bahana sajo yang basaiang-saiang. Sesama pengurus mesjid pun kadang saling menjatuhkan.
Ada juga yang pergi dakwah ke ujung gading … khan jauh tuh! Ketika sudah kembali pulang, ruponyo amplop honor bukan pitih isinyo, tapi ado surat undangan untuk gotong royong…hehehe ini kisah nyata lho. Namun salutnya, ustadz tersebut santai saja, karena memang bukan itu tujuannya berdakwah. Yang akan marabo-rabo cuman urang-urang yang memang mengharapkan amplop. Makin besar harapannya, makin besar kekecewaan jika tidak memperolehnya. Dan kalau kita berharap kepada Allah, niscaya tidak akan pernah dikecewakan.
Kita punya cita-cita agar dakwah tidak dikomersilkan. Dan Pak Gamawan Fauzi, secara lisan berjanji pada kami untuk mengatasi hal ini. Tapi sampai sekarang masih vakum. Pemprov berencana menetapkan gaji tetap untuk para da'i yang menetap di mesjid-mesjid. Sehingga mereka tak lagi terima amplop dari jemaah. Setiap da'i harus punya tempat nongkrong (mesjid), di sana dia menjadi tempat bertanya bagi masyarakat. Tidak keluar dari mesjidnya kecuali jika ada keperluan. Masalah kebutuhannya dan keluarga akan ditanggung oleh pemda. Hm…banyak yang menentang rencana ini. Herannya, justru pengurus-pengurus mesjid yang banyak tidak setuju. Karena otoritas kekuasaan mereka jadi mengecil, karena masalah-masalah yang berhubungan dengan mesjid harus dirundingkan dengan da'i yang ditempatkan di mesjid tersebut.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas…amin. Wallahu a'lam

Tidak ada komentar: