”Rifa, jaga adikmu ya?! Itulah kata-kata yang sering dilontarkan mama padaku. Nanti malam Mama dan ayah akan berangkat ke Medan untuk menghadiri pernikahan sepupuku. Ortu akan melakukan perjalanan yang cukup jauh, dari Padang menuju Medan.
Mama masih ragu untuk meninggalkan Via, sibungsu yang baru berumur 8 tahun, yang tidak biasa jauh dari mama. Namun tak mungkin Via dibawa, perjalanan tak hanya dengan bus, tapi juga naik speedboat selama lebih kurang 5 jam untuk sampai di daerah tujuan.
Via, si penghibur hati kami dan penyemarak dikala sunyi, berkecil hati ditinggal, dia menangis minta ikut, merajuk. Kewalahan juga diriku dan kak Tia menenangkannya. Dengan berbagai bujuk rayu, akhirnya Via tenang jua dan tertidur pulas di atas sofa.
Jadi lebih kurang dalam tiga minggu ini, penghuni rumah hanya diriku, Via, kak Tia dan sang Nenek. Perempuan semua..karena bang ifan sedang studi di Cairo. Via sudah melupakan peristiwa kemaren, hm...dasar anak kecil.Via sudah sibuk dengan aktivitasnya, seperti sekolah, mengaji, bermain. Hanya saja Via agak rewel pada malam hari, karena ingat Mama, ya...seperti biasa Via masih tidur bareng mama. Namun hari ketiga ditinggal mama...Via sudah jadi anak penurut alias ga’ rewel lagi.
”Via...makan yuk?” ajak ku. ”Ga’ mau...Via mau disuapin sama mama!” ”Aduh...Vi...mama ntar malam pulangnya...sekarang makan dulu ya...ini kan masih jam setengah dua, kak Rifa suapin nih..? ntar lagi kan Via mau berangkat ngaji..?” balasku merengek. ”Katanya mama dan ayah pulang hari ini? Via ga’ mau ngaji! Ntar oleh-olehnya kak Rifa dan kak Tia habisin! Ntar Via ga’ dapat apa-apa..?! Suara Via meradang. ”Eee-eee...Via, nenek kan ada, nanti oleh-oleh buat Via nenek yang simpan, lagian mama nanti malam baru sampe, kan Via dah pulang ngaji?! Sekarang makan ya...kali ini Nenek yang antar Via ngaji” Nenek ikut merayu. ”Tapi Via mau nunggu mama dan ayah!”.
”Vi.., kak Tia ada coklat nih..mau ga’?” kak Tia yang sedari tadi asyik membaca, akhirnya angkat bicara.”Ya iya lah kak... Via mau!” jawab Via cepat. ”Tapi Via harus makan dan pergi ngaji, dan kalo mama tau Via ga’ mau ngaji, nanti mama marahnya bukan sama Via aja, tapi juga sama kakak, emang Via ga’ kasian ama kak Tia dan kak Rifa? Nenek juga bela-belain mau ngantar Via, padahal nenek kakinya ga’ kuat jalan jauh” suara kak Tia tenang dan lembut. Via terdiam, terlihat wajahnya yang putih bersih memerah dan pipinya seakan-akan hendak meletus, matanya terus kebawah memandangi jari kakinya yang memain-mainkan ujung karpet. Kami bertiga menunggu reaksi darinya. Dalam hitungan menit, Via menjawab dengan wajah mengiba ”iya, Via mau ngaji, tapi jangan bilang sama mama kalo Via tadi ga’ nurut kakak”.Huuuufff....akhirnya...takluk juga sibungsu.
”Ma...ma...mama..., nek mama mana?” tanya Via. ”lhoh kok ga’ baca salam? insyaAllah mama dan ayah nanti sekitar dua jam lagi sampai Vi, sekarang ganti baju dulu, trus kita shalat maghrib, kemudian makan dan belajar sama kak Rifa ya?!” kata nenek.Via diam saja dan mengikuti langkah nenek menuju kamar.
Diriku menemani Via mengerjakan PR di ruang tamu, pintu di buka lebar menanti kedatangan orang tua tercinta.Via cepat-cepat menyelesaikan PRnya, biasanya mama yang jadi pembimbing Via kalo lagi bikin PR.
”Assalamu’alaikum ...” Ayah dan mama nongol di depan pintu sambil melemparkan senyum manis mereka. Langsung Via menghambur ke pangkuan mereka. Sembari membawa barang-barang masuk, diriku dan kak Tia melihat tingkah si bungsu jadi geli dan senyum-senyum sendiri. Mereka seperti bertahun-tahun tidak bertemu, padahal cuma 3 minggu, waah...benar-benar si bungsu yang manja.
Malam itu, kami tak sempat cerita banyak tentang pernikahan sepupuku itu, karena mereka terlihat lelah sekali, baiknya istirahat, apalagi mama.
Beberapa hari kemudian mama demam dan tak mau makan. Tubuh beliau menggigil. Ku ajak ke rumah sakit, mama menolak. ”mama hanya demam biasa kok Fa”, ga’ perlu ke rumah sakit,mungkin kecapean, dengan istirahat insyaAllah baikan. Ga’ da kabar dari Tia? Tanya mama padaku. ”Ga’ da ma, ka’ Tia mungkin blum bisa pulang dalam minggu ini, dia sibuk ngurusin skripsinya Ma, tapi kalo mama mau, nanti Rifa telpon kak Tia deh..buat ngabarin keadaan mama. ”Ga’ usah Fa ...”jawab mama singkat.
”Ayah...mama semakin parah, baiknya kita bawa ke rumah sakit...” lewat telpon ku mengadu pada ayah yang masih berada di kantor.”Ya Fa! bawa mama sekarang juga ke rumah sakit, nanti ayah langsung kesana, sekarang ayah masih rapat...hati-hati ya Fa”. Sepertinya ayah agak panik mendengar laporanku, karna tadi pagi beliau melihat istrinya sudah mau makan walau beberapa sendok dan tubuhnya tak menggigil lagi.
Setelah diperiksa, dokter mewajibkan mama dirawat inap sekarang juga, karena mama butuh infus makanan, tensi mama rendah sekali. Awalnya mama ga’ mau, tapi diriku berusaha membujuk, akhirnya beliau mengangguk. Semuanya telah ku ceritakan pada ayah, saat ini ayah di rumah mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa ke rumah sakit.
Ini baru pertama kalinya mama dirawat di rumah sakit. Ya Allah semoga mama baik-baik saja...
Malam ini, diriku dan ayah yang menjaga mama di rumah sakit. Paginya ku tak pergi sekolah, karna siapa lagi yang akan menjagai mama di RS. Kak Tia mungkin sedang dalam perjalanan menuju kemari. Ayah balik ke kantor ada tugas yang tidak bisa ditinggalkan. Via adikku, ah tak mungkin...dia ditemani sang nenek di rumah, dan mungkin sekarang sudah berangkat sekolah.
Mama masih tertidur pulas, kuamati wajah orang yang amat kucintai, wajahnya bersih sekali, dalam hati kupanjatkan do’a...semoga keadaan mama cepat membaik.
Hari ini hari ke 5 mama di rawat di Rumah sakit, kata dokter mama di vonis sakit tipus. Alhamdulillah sekarang mama sudah bisa bercanda dengan kami, dan pengen cepat pulang ke rumah. ”Rifa...mama mau pulang, ga’ enak tinggal di rumah sakit lama-lama, mama bosan di tempat tidur terus..” beliau bicara tak melihat padaku tapi sambil melihat keluar jendela. Saat itu diriku mengisi TTS, dan bilang ”Iya ma, Mama harus makan yang banyak biar cepat sembuh, dan Rifa juga ga’ mau mama lama-lama disini..apalagi si Via kangen sama Mama..”. Kulihat beliau tersenyum dan matanya berkaca-kaca. Hari ini terasa indah, diriku bercerita banyak dengan mama, kisah-kisah sewaktu ayah dan mama mulai merajut kasih, masa muda mama dan sebagainya. Ya...karna sudah hampir 1 minggu ini diriku tak bisa bicara banyak dengannya. Kami memandangi langit biru dari jendela kamar dan diselingi nyanyian burung serta udara pagi yang membuat tubuh terasa fresh.
Sahabat-sahabatku datang membesuk mama...Mereka bercanda ria, mama sudah mengganggap sahabat-sahabatku layaknya anak sendiri. Syukurlah..hari ini mama sering tersenyum. ”Ma, dua hari lagi ujian Mid semester akan dimulai, jadi kami mohon doa supaya berhasil ??” kata Icha (sahabatku) sembari mohon izin pulang. ”Tentu Cha..! Lhoh..berarti Rifa besok juga ujian ya? Fa, kok ga’bilang-bilang besok mau ujian?kalo mama tau...Rifa kan bisa belajar tenang di rumah ?! biar yang lain njagain mama, lagian mama kan udah baikan..sendiri juga ga’ papa, ayah juga kalo dah balik kantor langsung kesini..” suara mama terdengar sedikit nada kecewa. ” Baik ma, nanti malam ayah dan kak Tia disini yang jagain mama, Rifa nyiapin diri untuk ujian, mudah-mudahan hasilnya ga’ mengecewakan ya Ma?”. Ntah kenapa ada iba di hatiku.
Jam 7 pagi diriku sudah siap tuk berangkat ke sekolah. Berniat, sepulang sekolah nanti, langsung cabut ke rumah sakit. Gimana ya..apa mama dah bisa pulang? Diriku bertanya-tanya sendiri.
Teranyata ku tak bisa ke rumah sakit, di rumah kedatangan tamu, yaitu sepupuku dari Medan yang baru menikah itu..mungkin dalam rangka bulan madu. Tentunya diriku harus menservis dengan baik, soalnya sejak mama masuk rumah sakit, urusan di rumah jadi terbengkalai. Makanya ayah menyuruhku membereskan urusan rumah dahulu...baru ke rumah sakit.
Akhirnya diriku tak jadi menengok mama....karna sudah kecapean, dan diriku harus belajar, besok kan mau ujian...
Hari ini, hari ke 7 alias sudah 1 minggu mama dirawat di Rumah sakit, dan hari pertamaku ujian mid semester II di kelas 2 Aliyah. Sepulang ujian nanti, diriku berniat mencek email di warnet, mungkin ada surat dari Bang ifan, karna biasanya kami chatting 1 x dalam seminggu. Sebelumnya Bang Ifan sudah ku kabari melalui email kalo mama masuk rumah sakit.
Ternyata dugaanku tepat. Bang Ifan menanyakan bagaimana kondisi mama sekarang, dan dari negri para Nabi bang Ifan mendoakan agar mama cepat sembuh sehat wal’afiat.
Sudah memasuki hari yang ke 8 mama di rumah sakit, menurut perkiraan ku mama sudah bisa pulang, karena terakhir diriku bertemu mama, beliau semakin membaik. hari ini diriku bertekad harus ngeliat mama.
Astaghfirullah, kenapa keadaan mama makin memburuk. Tak tahan ku melihat kondisi seperti ini, mama bernafas melalui slang yang dihubungkan ke tabung oksigen, dan keteter pun sudah terpasang. Diriku tak bisa menahan tangis, mama mengarah padaku, dengan pandangan kosong tak bisa bicara. Emosiku tak tahan lagi, air mata mengalir deras.
Ayah bilang, kalo keadaan mama seperti itu sejak tadi pagi. ”Sabar Fa,jangan nangis, yang mama butuhkan adalah suport dari kita, doa! Baiknya Rifa di rumah ya...biar ayah dan kak Tia disini, Fa kan lagi ujian”bujuk ayah menenangkanku. ”Yah...mana bisa Rifa konsentrasi ujian, sedangkan kondisi mama seperti itu, Rifa bakal disini sampe mama sadar” diriku memelas. Ayah hanya diam dan pergi dari hadapanku, mungkin kecewa dengan sikapku.
Azan berkumandang, diriku shalat ashar di mushalla dekat rumah sakit. Selesai shalat, air mataku mengalir begitu saja, semakin deras. Kak Tia menghampiriku dan merangkulku tanpa sepatah katapun. Kulihat matanya juga basah, ”Kita tak bisa berbuat apa-apa Fa, hanya Allah yang bisa menyembuhkan mama, dokter sudah berusaha memberikan yang terbaik, kita hanya bisa berharap Allah kan mengabulkan doa-doa kita”.
Akhirnya ku pulang juga ke rumah, ku teringat Via, pasti dia kesepian sekali. Ba’da magrib, seperti biasa Via baca al-Qur’an, kemudian bikin PR, kali ini tingkahnya betul-betul aneh, dia minta di tunjuki cara memecahkan soal, kebetulan PR matematika, sudah kuajarkan, tapi dia bersikeras kalo yang ku ajarkan itu salah, sampai-sampai dia menangis. Kubujuk, tangisnya semakin keras. Ada apa dengan mu dek?? Dalam hati ku bertanya.
Akhirnya ku minta maaf pada Via. Entah kenapa air mataku ikut berlinang. Via masih menangis di atas sofa dan ku menghindar dari sisinya kemudian lari ke kamar dan menghempaskan diri ke atas kasur. Nenek menenangkan Via, dan setelah itu diriku tak tau apa yang terjadi lagi...
Diriku terbangun, astaghfirullah..ku belum shalat isya. Wajahku yang tegang bekas air mata kini menjadi sejuk kena air wudhu’. Jam menunjukkan 1 dinihari. Suara anjing menggonggong saling bersahutan membuat bulu kuduk jadi merinding. Mata tak bisa terpejam lagi, ingatan hanya pada mama. Ku baca buku untuk persiapan ujian selanjutnya, tapi tak bisa. Oya besok kan hari jum’at, jadi ga’ ada ujian (sekolah ku liburnya hari jum’at). Sudah jam 2 mata masih tak mau tidur, perasaan tidak tenang, kuhidupkan komputer dan untuk mendengarkan senandung al-qur’an melalui pragram winamp, sambil mengetik apa yang ku alami dalam beberapa hari belakangan ini.
Mendayu suara bacaan alqur’an dari masjid, menandakan sebentar lagi waktu shalat subuh kan masuk, kumatikan komputer. Ku beranjak menuju kamar nenek. Kulihat nenek sudah di atas sajadah sambil memegang tasbih, diatas kasur Via masih berselimut tebal. Selesai shalat subuh, kulanjutkan dengan tadarus al-Qur’an sampai hati ini terasa tenang.
Pagi-pagi kak Tia sudah pulang ke rumah, untuk mengantar baju-baju mama yang kotor, dan minta tolong agar ku cuci. Kak Tia juga pesan diriku ga’ usah ke rumah sakit, karna tenagaku lebih dibutuhkan di rumah.”Oke deh kak...tapi kalo urusan beres-beresnya sudah selesai, bolehkan Rifa nengok mama ?” tanyaku. ”Iya...iya” jawab kak Tia sambil mengelus kepalaku.
”Kring....kring....kring...” Telpon rumah berdering, diriku sedang memasak sayur, hanya diriku dan nenek di rumah, Via belum pulang sekolah. ”Assalamu’alaikum” terdengar suara lembut dari seberang sana, ”Walaikum salam warohmatullah”jawabku. ”Fa, bisa ke rumah sakit sebentar, tolong antar sarung yang warna coklat motif kotak-kotak, tadi kak lupa bawanya, cepat ya!” ternyata suara itu kepunyaan kak Tia. ”Kak, mama gimana keadaannya, baik-baik kan? Sudah ada kemajuan? Sudah sadar? Bertubi-tubi pertanyaannku. ”Ga’ apa-apa Fa, datanglah!” jawab kak Tia dengan singkat.
Dengan hati dag dig dug, secepatnya ku ganti pakaian, dan pamit sama nenek. Tak bisa kuutarakan perasaan saat ini, harap cemas, sedih, senang, bercampur. Senang karena kak Tia bilang mama sudah agak baikan.
Setiba di rumah sakit, dari kejauhan kulihat kamar mama ramai dipenuhi pembesuk. Hati terasa ngilu, ku tarik nafas dalam-dalam dan beristighfar. Ketika akan masuk ke ruangan, kulihat disamping mama salah seorang kerabatku sedang membacakan ayat-ayat suci al-Quran, nafas mama tinggal satu-satu. Kulihat kak Tia memegang tangan mama, ayah berada dihadapan mama, dan membimbing mama membaca kalimah ”La Ilaha Illallah Muhammadurrasuulullah”. Dan dirikupun langsung mendekati perempuan yang melahirkan dan membesarkanku ku itu. Ruangan terasa khidmat dengan lantunan ayat-ayatNya. Saat itu hatiku sibuk pula berdoa padaNya berharap Allah memberikan mama kekuatan dan pertolongan saat ini, ketika meradang nyawa.
Suara alat pendeteksi denyut jantung semakin lambat, nafas mama tinggal satu-satu dan itu seperti terdengar mengucapkan kalimah ”Allah...Allah...”.
Tid...tid...tid............tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiid...................
Tangis meledak seketika, Kak Tia suara tangisnya semakin keras dan pingsan sesaat, Ayah menutup mukanya dengan tangan dengan isakan tangis. Diriku langsung lemas jatuh tak sadarkan diri.
Ruangan sepi, orang-orang yang ramai tadi pada kemana?? Apakah tadi itu hanya mimpi? Ah, ternyata tidak...ini kenyataan. Di ruangan hanya tinggal ayah, kak Tia, diriku, dan beberapa orang kerabat dekat dan juga mama yang terbujur kaku, tak ada lagi slang-slang yang menempel ditubuh mama, hanya kain putih menyelimuti tubuhnya. Diriku berada dipangkuan salah seorang kerabat, mungkin sekitar 10 menit diriku tak sadarkan diri.
Ku kuatkan diri, kuhampiri dan kucium kening mama, takkan ada senyum lagi dari wanita yang kusayangi ini, pasti ku kan merindukan candaannya, belaiannya, bahkan marahnya. Wajah ini takkan kutemui lagi, kecuali hanya dalam ingatan. Mama semoga dirimu mendapat tempat yang baik disisiNya, tenang dan bahagia disana.
Kemudian terdengar azan zhuhur, memanggil umat untuk tunaikan shalat jumat, ayah sudah pergi dengan beberapa kerabat laki2. Diriku kembali ke rumah mempersiapkan segala sesuatunya dalam penyelenggaraan jenazah nanti. Nenek sudah mendengar kabar dari tetangga dan kerabat yang telah nyampai duluan di rumah. Dan Via...tak terbayang olehku bagaimana reaksinya.
Setiba di rumah, kuhampiri nenek. Beliau langsung memelukku dengan berurai air mata. Diriku berusaha untuk tegar dan takkan menangis.Tapi ketika Via datang dan bilang ”Kak Rifa, nenek kenapa dari tadi menangis terus, karena mama ya? Mama kan cuma nginap di rumah sakit...habis tu pulang lagi kan? Via aja ga’ nangis”. Spontan air mata tak terbendung lagi.
Jum’at ba’da Ashar, awan mendung dan rintik-rintik hujan mulai berjatuhan, jenazah mama sudah selesai di kuburkan. Dalam perjalanan menuju rumah, diriku membisu dan sesekali air mata jatuh ke pipi. Teringat kenangan-kenangan selama bersama mama. ”Mama...engkaulah wanita yang kucinta selama hidupku, maafkan anakmu ini bila ada salah, pengorbananmu takkan terbalas olehku.Ya Allah...Ampunilah dosanya dan sayangilah ia seperti ia menyayangiku di waktu kecil dan berilah ia kebahagian di dunia dan di akhirat. Ya Allah....ijinkanlah hamba bahagiakan ia, walau ia telah jauh, biarkanlah diriku berarti untuk dirinya.(nadine_fsy).

Rabu, 18 Februari 2009
Oh mama...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar