Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas lahir pada 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Syed Muhammad Naquib ibn Ali Abdullah ibn Muhsin Al-Attas lahir pada 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Silsilah keluarganya bisa dilacak hingga ribuan tahun ke belakang melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’Alawi di Hadramaut dengan silsilah yang sampai kepada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW. Diantara leluhurnya ada yang menjadi wali dan ‘ulama. Salah seorang di antara mereka adalah Syed Muhammad Al-‘Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing ruhani Syed Abu Hafs ‘Umar ba Syaiban dari Hadramaut, yang mengantarkan Nur Al-Raniri, salah seorang alim ‘ulama terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat Rifa’iyyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib, yaitu Syarifah Raquan Al-‘Aydarus, berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura.
Dari pihak bapak, kakek Syed Muhammad Naquib yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin Muhammad Al-Attas adalah seorang wali yang pengaruhnya tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab. Muridnya, Syed Hasan Fad’ak, kawan Lawrence of Arabia, dilantik menjadi penasihat agama Amir Faisal, saudara Raja Abdullah dari Yordania. Neneknya, Ruqayah Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik Sultan Abu Bakar Johor (w.1895) yang menikah dengan adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid wafat (meninggalkan dua orang anak), Ruqayah menikah untuk yang kedua kalinya dengan Syed Abdullah Al-Attas dan dikaruniai seorang anak, Syed Ali Al-Attas, yaitu bapak Syed Muhammad Naquib.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Yang sulung bernama Syed Hussein, seorang ahli sosiologi dan mantan Wakil Rektor Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syed Zaid, seorang insinyur kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.
Latar belakang keluarganya memberikan pengaruh yang besar dalam pendidikan awal Syed Muhammad Naquib. Dari keluarganya yang terdapat di Bogor, dia memperoleh pendidikan dalam ilmu-ilmu keislaman, sedangkan dari keluarganya di Johor, dia memperoleh pendidikan yang sangat bermanfaat baginya dalam mengembangkan dasar-dasar bahasa, sastra, dan kebudayaan Melayu.
Pada usia lima tahun, Syed Muhammad Naquib dikirim ke Johor untuk belajar di Sekolah Dasar Ngee Heng (1936-1941). Di sana, dia tinggal dengan pamannya, Ahmad, kemudian dengan bibinya, Azizah, keduanya adalah anak Ruqayah Hanum dari suaminya yang pertama, Dato’ Jaafar ibn Haji Muhammad (w.1919), Kepala Menteri Johor Modern yang pertama. Pada masa pendudukan Jepang, dia kembali ke Jawa untuk meneruskan pendidikannya di Madrasah Al-‘Urwatu Al-Wutsqa, Sukabumi (1941-1945), sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Setelah Perang Dunia II pada tahun 1946, Syed Muhammad Naquib kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikan selanjutnya, pertama di Bukit Zarah School kemudian di English College (1946-1951). Pada masa ini, dia tinggal dengan salah seorang pamannya yang bernama Ungku Abdul Aziz ibn Ungku Abdul Majid, keponakan Sultan yang kelak menjadi Kepala Menteri Johor Modern yang keenam. Ungku Abdul Aziz memiliki perpustakaan manuskrip Melayu yang bagus, terutama manuskrip sastra dan sejarah Melayu.
Syed Muhammad Naquib banyak menghabiskan masa mudanya dengan membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip sejarah, sastra, dan agama, serta buku-buku klasik Barat dalam bahasa Inggris yang tersedia di perpustakaan keluarganya yang lain. Lingkungan keluarga berpendidikan dan bahan-bahan bacaan seperti inilah yang menjadi faktor pendukung yang memungkinkan Al-Attas mengembangkan gaya bahasa yang baik dan pemilihan kosa kata yang tepat, yang kelak sangat memengaruhi gaya tulisan dan tutur bahasa Melayunya.
Keterlibatannya dengan sejumlah manuskrip dalam periode pembentukan ini memiliki kesan yang sangat mendalam dalam hidupnya. Sampai sekarang, dia masih memiliki koleksi manuskrip pribadi dalam bahasa Melayu dan Arab yang tidak tertera dalam catalog manuskrip yang disusun oleh Van Ronkel ataupun dalam katalog-kalatog manuskrip Melayu lainnya. Di antara manuskrip yang dimilikinya adalah Risalatu Al-Ahadiyyah, yang sering disebut karya tulis Ibn ‘Arabi atau muridnya yang bernama ‘Abdullah Al-Balyani/Balbani; Al-Tuhfat Al-Mursalah ila An-Nabi, karya Fadhl Allah Al-Burhanpuri; dan sejumlah karya lainnya yang ditulis oleh Wali Raslan Al-Dimasyqi. Perlu diketahui bahwa selama ini manuskrip Burhanpuri yang ditulis dalam bahasa Melayu dianggap telah hilang dan satu-satunya duplikat yang ada dari karya ini adalah terjemahan bahasa Jawanya.
Setelah Ungku Abdul Aziz pension, Syed Muhammad Naquib tinggal dengan pamannya yang lain, Dato’ Onn ibn Dato’ Jaafar (Kepala Menteri Johor Modern Ketujuh), sampai menyelesaikan pendidikan tingkat menengah. Dato’ Onn adalah salah seorang tokoh nasionalis, pendiri sekaligus Presiden Pertama UMNO (United Malay National Organization), yaitu partai politik yang menjadi tulang punggung kerajaan Malaysia sejak Malaysia dimerdekakan oleh Inggris.
Al-Attas menceritakan bahwa Dato’ Onn sangat mengagumi bakat seninya dan memintanya untuk membuat gambar bendera resmi UMNO dengan memasukkan symbol kekuatan, kesetiaan, dan Islam. Al-Attas pun kemudian menggambar bendera yang diinginkan : gambar keris hijau dengan latar berwarna kuning yang menyimbolkan Islam, kekuatan, dan kesetiaan Melayu; yang semuanya diletakkan di atas latar berwarna merah dan putih, yaitu warna kesukaan Hang Tuah (pahlawan dan jenderal perang Melayu yang terkenal) sekaligus warna bendea Indonesia (Al-Attas mengetahui makna symbol bendera Indonesia yang berwarna merah-putih sebab pada masa remajanya dia tinggal di Jawa, di tengah-tengah usaha memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia pada 1945).
Gambar bendera UMNO yang dilukis oleh Al-Attas yang berukuran 3,5 x 1,5 kaki itu kemudian dibawa Dato’ Onn dalam pertemuan yang diselenggarakan di rumahnya di Jalan Mariamah No.303, Johor Bahru, yang turut dihadiri Dato’ Panglima Bukit Gantang, Dato’ Zainal Abidin ibn H.Abas, Dr. Ismail ibn Dato’ Abdul Rahman, dan Kolonel Musa (atau Pak Lomak). Mereka semua setuju dengan desain yang dilukis Al-Attas.
Setelah menamatkan sekolah menengah pada 1951, Al-Attas mendaftar di resimen Melayu sebagai kadet dengan nomor 6675. Al-Attas dipilih oleh Jenderal Sir Gerald Templer, ketika itu menjabat sebagai British High Commissioner di Malaya, untuk mengikuti pendidikan militer, pertama di Eton Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris (1952-1955). Selama di Inggris, dia berusaha memahami aspek-aspek yang memengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat Inggris. Ketika di Sandhurst, dia membina persahabatan dengan beberapa orang peserta pendidikan yang lain, satu diantaranya adalah Syarif Zaid ibn Syakir, keponakan Raja Hussein dari Yordania, yang kelak menjadi Kepala Militer kemudian Perdana Menteri Yordania.
Selain mengikuti pendidikan militer, Al-Attas juga sering pergi ke negara-negara Eropa lainnya (terutama Spanyol) dan Afrika Utara untuk mengunjungi tempat-tempat yang terkenal dengan tradisi intelektual, seni, dan gaya bangunan keislamannya. Di Afrika Utara pulalah dia berjumpa dengan sejumlah pemimpin Maroko yang sedang berjuang merebut kembali kemerdekaan mereka dari tangan Prancis dan Spanyol, seperti Alal Al-Fasi, Al-Mahdi Bennouna, dan Sidi Abdallah Gannoun Al-Hasani. Di Sandhurst pulalah Al-Attas berkenalan untuk yang pertama kalinya dengan pandangan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya Jami yang tersedia di perpustakaan kampus. Tidak pelak lagi bahwa pengalaman yang seperti ini meninggalkan kesan yang mendalam dalam diri Al-Attas.
Setamatnya dari Sandhurst, Al-Attas ditugaskan sebagai pegawai kantor resimen tentara kerajaan Malaya, Federasi Malaya, yang ketika itu sibuk menghadapi serangan komunis yang bersarang di hutan. Namun, dia tidak lama di sini. Minatnya yang dalam untuk menggeluti dunia ilmu pengetahuan mendorongnya untuk berhenti secara sukarela dari kepegawaiannya kemudian membawanya ke Universitas Malaya, ketika itu di Singapura, pada 1957-1959. Tidak dapat dinafikan lagi bahwa latihan-latihan militer yang diterimanya, terutama yang berkaitan dengan unsur-unsur keislaman, seperti ketaatan, disiplin diri, dan kesetiaan, sangat berpengaruh dalam pelbagai pandangan dan sikapnya sebagai seorang sarjana dan administrator Muslim.
Al-Attas telah menulis dua buku ketika masih mengambil program S1 di Universitas Malaya. Buku yang pertama adalah Rangkaian Ruba’iyat, termasuk di antara karya sastra pertama yang dicetak Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada 1959. Buku kedua, yang sekarang menjadi karya klasik, adalah Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays, yang diterbitkan Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada 1963. Selama menulis buku yang terakhir ini dan demi memperoleh bahan-bahan yang diperlukan, Al-Attas pergi menjelajah ke seluruh negeri Malaysia dan menjumpai tokoh-tokoh penting sufi agar bisa mengetahui ajaran dan praktik tasawuf mereka.
Sedemikian berharganya buku yang kedua ini sehingga pada 1959 pemerintahan Kanada, melalui Canada Council Fellowship, memberinya beasiswa selama tiga tahun, terhitung sejak 1960, untuk belajar di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal, yang didirikan Wilfred Cantwell Smith. Di sinilah dia berkenalan dengan beberapa orang sarjana terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazrul Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Seyyed Hossein Nasr (Iran). Al-Attas mendapat gelar M.A. dari Universitas McGill pada 1962 setelah lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
Setahun kemudian, atas dorongan beberapa orang sarjana dan tokoh-tokoh orientalis yang terkenal, seperti Profesor A.J. Arberry (Cambridge), Sir Mortimer Wheeler (Akademi Inggris), Sir Richard Winstedt (Akademi Inggris), dan pimpinan Royal Asiatic Society, Al-Attas pindah ke SOAS (School of Oriental and African Studies) Universitas London, untuk meneruskan pendidikan doktoralnya. Di sini, dia belajar di bawah bimbingan Profesor Arberry dan Dr.Martin Lings. Pada 1965, dia memperoleh gelar Ph.D setelah dua jilid disertasi doktoralnya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fanshuri lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Disertasi ini termasuk salah satu karya akademik yang penting dan komprehensif mengenai Hamzah Fanshuri, sufi terbesar atau bahkan mungkin yang sangat kontroversial di dunia Melayu.
Perlu diketahui bahwa selama menjadi mahasiswa, terutama di McGill dan London, Al-Attas sangat aktif dalam mengoreksi pandangan negatif yang ditujukan pada Islam. Selain itu, dia juga terlibat dalam kegiatan dakwah dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang murni. Atas rahmat dan petunjuk Alloh SWT, kegiatan dakwah ini berhasil menyadarkan beberapa orang sehingga mereka mau memeluk agama Islam.
Al-Attas kembali ke Malaysia pada 1965. Termasuk di antara sedikit orang Malaysia pertama yang memperoleh gelar Doctor of Philosophy dan yang mendapatkannya dari Universitas London, Al-Attas dilantik menjadi Ketua Jurusan Sastra di Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Dari 1968 hingga 1970, dia menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di kampus yang sama. Di sini, dia berusaha memperbaiki struktur akademis fakultas dan mengharuskan setiap jurusan menyusun rencana dan mengurus aktivitas akademiknya dengan berkonsultasi pada jurusan-jurusan lain yang sefakultas sehingga mereka tidak berjalan sendiri-sendiri sebagaimana yang terjadi selama ini. Dia juga bertanggung jawab dalam upaya menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di lingkungan fakultas dan universitas, yang karenanya terpaksa menghadapi oposisi dosen-dosen lain yang tidak menyetujui usaha tersebut.
Pada 1970, dan dalam kapasitasnya sebagai salah seorang Pendiri Senior UKM (Universitas Kebangsaan Malaysia), Al-Attas juga berusaha mengganti pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di UKM dengan bahasa Melayu. Dia juga ikut mengonseptualisasikan dasar-dasar filsafat UKM dan memelopori pendirian fakultas ilmu dan kajian Islam. Pada tahun yang sama dan dalam kapasitasnya sebagai Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Melayu, Al-Attas telah mengajukan konsep dan metode baru kajian bahasa, sastra, dan kebudayaan Melayu yang bia digunakan untuk mengkaji peranan dan pengaruh Islam serta hubungannya dengan bahasa dan kebudayaan lokal dan internasional dengan cara yang lebih baik. Untuk merealisasikan rencana ini, pada 1973 dia mendirikan dan mengepalai IBKKM (Institut Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan Melayu) di UKM.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah seorang pakar yang menguasai pelbagai disilpin ilmu, seperti teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, dan sastra. Dia juga seorang penulis yang produktif dan otoritatif, yang telah memberikan beberapa kontribusi baru dalam disiplin keislaman dan peradaban Melayu.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas juga dikaruniai beberapa keahlian yang lain, seperti dalam bidang kaligrafi. Dalam bidang ini, Al-Attas pernah mengadakan pameran kaligrafi di Museum Tropen, Amsterdam, pada 1954. Dia juga telah memublikasikan tiga kaligrafi basmallah-nya yang ditulis dalam bentuk burung pekakak (1970), ayam jago (1972), ikan (1980) dalam beberapa buah bukunya.
Dia jugalah orangnya yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC pada 1991. Pada 1993, dia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk Kursi Kehormatan Al-Ghazali. Pada 1994, dia diminta menggambar auditorium dan masjid ISTAC lengkap dengan lanskap dan dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam sentuhan tradisional dan gaya cosmopolitan.
Banyak sarjana lokal dan asing serta pengunjung yang kagum dengan keseriusan dan cita-cita ISTAC yang telah dituangkan Al-Attas dalam desain bangunannya. Gulzar Haider, professor arsitektur terkenal dari Universitas Carletton, Ontario, Kanada, yang selama beberapa tahun ikut mendiskusikan rencana pembangunan ISTAC dengan Al-Attas, telah melihat sketsa dan desain ISTAC yang dibuat Al-Attas beserta miniaturnya. Katanya, kemampuan imajinasi Al-Attas dalam menyusun garis dan bentuk sama baiknya dengan kemampuan Al-Attas dalam memilih kata dan menyusun kalimat dalam setiap tutur katanya. Gulzar Haider selanjutnya menambahkan :
Dengan seketika saya menyadari bahwa ketika berbicara mengenai “kilasan sejumlah bentuk yang direfleksikan dalam kaca dunia”, Profesor Al-Attas bermaksud merangkumi semua spectrum dari gambaran inderawi yang muncul setelah melihat alam semesta hingga ke tingkat-tingkat kehampaan, opaque dan transparan, gelap dan terang, tempat dan arah, geometri dan dekorasi, keheningan dan suara, dan tumbuhan, tanam-tanaman, bunga-bunga, dan aroma yang ditangkap dan disusun oleh manusia….Sebenarnya, menurut hemat saya….dia ingin agar arsitektur ikut mendorong ke arah pembentukan jiwa yang responsif, cenderung, dan siap menerima pencerahan yang direfleksikan dari “Keindahan dan Kemuliaan Tuhan” dan dari ilmu pengetahuan.
Demikian juga halnya dengan Profesor Seyyed Hossein Nasr dari Universitas George Washington yang pada pertengahan 1993 mengunjungi ISTAC. Seperti pengunjung lainnya, Nasr tidak dapat menyembunyikan kekagumannya terhadap pencapaian arsitektural ISTAC. Sekembalinya ke Amerika, dia menulis kepada Lembaga Aga Khan dan mengatakan bahwa dia “telah menemukan sebuah institusi pendidikan yang sangat indah dan tentunya merupakan salah satu konstruksi bangunan yang berhasil dalam tahun-tahun terakhir ini dari sudut pandang arsitektur Islam”.
Pada 1997, Al-Attas telah dipercaya untuk membangun kampus ISTAC baru yang hanya beberapa kilometer dari bangunan ISTAC sekarang. Melihat rancangan, desain, dan beberapa bangunan yang sedang dalam proses pembuatan, kampus baru yang direncanakan sepuluh kali lebih besar dan lebih bagus dari ISTAC yang ada sekarang, terdiri dari tempat tinggal untuk para staf dan mahasiswa, kantin, perpustakaan, ruang belajar, ruang konferensi, dan olahraga.
Perlu juga disebutkan bahwa dengan menunjuk dan melibatkan Al-Attas secara resmi sebagai perancang, desainer, penata taman, dan interior kampus ISTAC yang baru dan yang sekarang sedang dipakai, berarti uang yang berjumlah jutaan dolar yang harus dibayar untuk tenaga ahli dalam bidang tersebut bisa disimpan. Demikian juga halnya dengan kecenderungan Al-Attas untuk membeli sebagian besar bahan bangunan dan furnitur kampus, langsung dari produsen, yang tentunya sangat menghemat perbelanjaan bangunan kedua kampus tersebut.
Al-Attas sering mendapatkan penghargaan internasional, baik dari para orientalis maupun dari para pakar peradaban Islam dan Melayu. Misalnya, Al-Attas pernah dipercaya untuk memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara pada Congres International des Orientalistes yang ke-29 di Paris pada 1973. Pada 1975, atas kontribusinya dalam perbandingan filsafat, dia dilantik sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy, sebuah lembaga yang anggotanya, antara lain, terdiri dari beberapa orang professor yang terkenal, seperti Henry Corbin, Seyyed Hossein Nasr, dan Toshohiku Izutsu. Dia pun pernah menjadi konsultan utama penyelenggaraan Festival Islam Internasional (International Islamic Festival) yang diadakan di London pada 1976, sekaligus menjadi pembicara dari utusan dalam Konferensi Islam Internasional (International Islamic Conference) yang diadakan secara bersamaan di tempat yang sama.
Al-Attas juga menjadi pembicara dan peserta yang aktif dalam Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan lslam (First World Conference on Islamic Education) yang dilangsungkan di Makkah pada 1977 dan dia ditunjuk untuk memimpin komite yang membahas tujuan dan definisi pendidikan Islam. Dari 1976-1977, dia menjadi Profesor Tamu (Visiting Professor) untuk studi Islam di Universitas Temple, Philadelphia. Pada 1978, dia diminta UNESCO untuk memimpin pertemuan para ahli sejarah Islam yang diselenggarakan di Aleppo, Suriah. Setahun kemudian, dia mendapatkan anugerah Medali Seratus Tahun Meninggalnya Sir Muhammad Iqbal (Iqbal Centenary Commemorative Medal) dari Presiden Pakistan, Jenderal Muhammad Zia Ul-Haq. Al-Attas telah menghadiri dan memimpin sesi-sesi penting dalam pelbagai kongres internasional, baik yang diselenggarakan oleh UNESCO maupun oleh badan-badan akademi yang lain.
Di Malaysia posisi dan peranan Al-Attas sebagai seorang pakar yang andal tidak perlu diragukan lagi. Dari 1970-1984 dia dipilih menjadi Ketua Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Melayu di Universitas Kebangsaan Malaysia. Dia juga pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Tun Abdul Razak untuk Studi Asia Tenggara (Tun Abdul Razak Chair of Southeast Asian Studies) di Universitas Ohio, Amerika Serikat, untuk periode 1980-1982. Al-Attas adalah pendiri sekaligus Rektor ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), Malaysia, sejak 1987.
Dia telah menyampaikan lebih dari 400 makalah ilmiah di Negara-negara Eropa, Amerika, Jepang, Timur Jauh, dan pelbagai Negara Islam lainnya. Sebagai peenghargaan atas pelbagai kontribusinya yang menyeluruh dalam pemikiran Islam kontemporer, pada 1993, Dato’ Seri Anwar Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai Presiden ISTAC dan Presiden Universitas Islam Malaysia Internasional (International Islamic University Malaysia) menunjuk Al-Attas sebagai Pemegang Pertama Kursi Kehormatan Abu Hamid Al-Ghazali dalam Studi Pemikiran Islam (Abu Hamid Al-Ghazali Chair of Islamic Thought) di ISTAC. Raja Hussein dari Yordania mengangkatnya sebagai Anggota Royal Academy of Jordan pada 1994,sedangkan Universitas Khartoum menganugerahi gelar doctor kehormatan (D.Litt.) di bidang seni kepadanya pada Juni 1995.
Berkenaan dengan banyaknya reaksi negatif yang ditujukan pada ide-idenya, Al-Attas pernah mengatakan bahwa berbeda dengan sarjana-sarjana Muslim lainnya, tidak pernah sekali pun terlintas dalam pikirannya untuk meninggalkan Malaysia selama-lamanya. Dia selalu ingat dan merasa diperingatkan oleh kisah Nabi Yunus a.s. yang di dalamnya diceritakan bahwa keputusan Nabi Yunus a.s. untuk meninggalkan kaumnya yang selalu bersikap masa bodoh dan sombong terhadap ajaran-ajaran yang dibawanya ternyata tidak bisa diterima Alloh SWT, yang kemudian memakai ikan untuk menelan dan mengantarkannya kembali kepada kaumnya.
Perjuangan dan aktivitas Al-Attas di pelbagai institusi pendidikan tinggi yang terdapat di Malaysia-sebuah Negara multi agama- tetapi didominasi oleh umat Islam yang sekarang sedang mengalami perubahan social ekonomi yang cepat-tidak hanya memberinya peluang untuk memahami dengan jelas isu-isu fundamental yang mendasari permasalahan-permasalahan kompleks yang sekarang sedang menghadang umat Islam, tetapi juga memberikan solusi yang tepat bagi permasalahan-permasalahan tersebut.
Karya Tulis
A. Buku dan Monograf
Al-Attas telah menulis 26 buku dan monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu dan banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa lain, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Jepang, India, Korea, dan Albania. Karya-karyanya tersebut adalah :
1. Rangkaian Ruba’iyat, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), Kuala Lumpur, 1959
2. Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays, Malaysian Sociological Research Institute, Singapura, 1963.
3. Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, Monograph of the Royal Asiatic Society, Cabang Malaysia, No.111, Singapura, 1966.
4. The Origin of the Malay Sya’ir, DBP, Kuala Lumpur, 1968.
5. Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago, DBP, Kuala Lumpur, 1969.
6. The Mysticism of Hamzah Fanshuri, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1970.
7. Concluding Postscript to the Origin of the Malay Sya’ir, DBP, Kuala Lumpur, 1971.
8. The Correct Date of the Trengganu Inscription, Museums Department, Kuala Lumpur, 1972.
9. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972. Sebagian isi buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Prancis. Buku ini juga telah hadir dalam versi bahasa Indonesia.
10. Risalah untuk Kaum Muslimin, monograf yang belum diterbitkan, 286 h., ditulis antara Februari-Maret 1973. (buku ini kemudian diterbitkan di Kuala Lumpur oleh ISTAC pada 2001).
11. Comments on the Re-examination of Al-Raniri’s Hujjat Al-Shiddiq : A Refutation, Museums Department, Kuala Lumpur, 1975.
12. Islam : The Concept of the Religion and the Foundation of Ethics and Morality, Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Korea, Jepang, dan Turki.
13. Islam : Paham Agama dan Asas Akhlak, ABIM, Kuala Lumpur, 1977. Versi bahasa Melayu buku no.12 di atas.
14. Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978. Diterjemahkan ke dalam bahasa Malayalam, India, Persia, Urdu, Indonesia, Turki, Arab, dan Rusia.
15. (Ed.) Aims and Objectives of Islamic Education : Islamic Education Series, Hodder and Stoughton dan King Abdulaziz University, London : 1979. Diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.
16. The Concept of Education in Islam, ABIM, Kuala Lumpur, 1980. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Persia, dan Arab.
17. Islam, Secularism, and The Philosophy of the Future, Mansell, London dan New York, 1985.
18. A Commentary on the Hujjat Al-Shiddiq of Nur Al-Din Al-Raniri, Kementerian Kebudayaan, Kuala Lumpur, 1986.
19. The Oldest Known Malay Manuscript : A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqa’id of Al-Nasafi, Dept. Penerbitan Universitas Malaya, Kuala Lumpur, 1988.
20. Islam and the Philosophy of Science, ISTAC, Kuala Lumpur, 1989. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bosnia, Persia, dan Turki.
21. The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
22. The Intuition of Existence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
23. On Quiddity and Essence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
24. The Meaning and Experience of Happiness in Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, 1993. Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Turki, dan Jerman.
25. The Degress of Existence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1994. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
26. Prologonema to the Metephysics of Islam : An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, 1995. Diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.
B. Artikel
Daftar artikel berikut ini tidak termasuk rekaman ceramah-ceramah ilmiah yang telah disampaikan di depan public. Berjumlah lebih dari 400 dan disampaikannya di Malaysia dan luar negeri antara pertengahan 1960-1970, aktivitas ceramah ilmiah ini masih berlangsung sampai sekarang.
1. “Note on the Opening of Relations between Malaka and Cina, 1403-5”, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society (JMBRAS), vol.38, pt.1, Singapura, 1965.
2. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalism, Kuala Lumpur, 1966.
3. “New Light on the Life of Hamzah Fanshuri”, JMBRAS, vol.40, pt.1, Singapura, 1967.
4. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti Malaya no.9, Kuala Lumpur, 1968.
5. “Hamzah Fanshuri”, The Penguin Companion to Literature, Classical and Byzantine, Oriental, and African, vol.4, London, 1969.
6. “Indonesia : 4 (a) History : The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.
7. “Comparative Philosophy : A Southeast Asian Islamic Viewpoint”, Acts of the V International Congress of Medieval Philosophy, Madrid-Cordova-Granada, 5-12 September 1971.
8. “Konsep Baru Mengenai Rencana serta Cara-gaya Penelitian ilmiah Pengkajian Bahasa, Kesusastraan, dan Kebudayaan Melayu”, Buku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusastraan Melayu”, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur : 1972.
9. “The Art of Writing, dept. Museum”, Kuala Lumpur, t.t.
10. “Perkembangan Tulisan Jawi Sepinta Lalu”, Pameran Khat, Kuala Lumpur, 14-21 Oktober 1973.
11. “Nilai-Nilai Kebudayaan, Bahasa, dan Kesusastraan Melayu”, Asas Kebudayaan Kebangsaan, Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1973.
12. “Islam in Malaysia” (versi bahasa Jerman), Kleines Lexicon der Islamischen Welt, ed. K. Kreiser, W. Kohlhammer, Berlin (Barat), Jerman, 1974.
13. “Islam in Malaysia”, Malaysia Panorama, Edisi Spesial, Kementerian Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1074. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa Arab dan Prancis.
14. “Islam dan Kebudayaan Malaysia”, Syarahan Tun Sri Lanang, seri kedua, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1974.
15. “Pidato Penghargaan terhadap ZAABA”, Zainal Abidin ibn Ahmad, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1976.
16. “A General Theory of the Islamization of the Malay Archipelago”, Profiles of Malay Culture, Historiography, Religion, and Politics, editor Sartono Kartodirdjo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1976.
17. “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”, First World Conference on Muslim Education, Makkah, 1977. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab dan Urdu.
18. “Some Reflections on the Philosophical Aspects of Iqbal’s Thought”, International Congress on the Centenary of Muhammad Iqbal, Lahore, 1977.
19. “The Concept of Education in Islam : Its Form, Method, and Sistem of Implementation”, World Symposium Al-Isra’, Amman, 1979. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab.
20. “ASEAN-Ke mana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?” Diskusi, jil.4, no.11-12, November-Desember, 1979.
21. “Hijrah : Apa Artinya?” Panji Masyarakat, Desember, 1979.
22. “Knowledge and Non-Knowledege”, Readings in Islam, no.8, first quarter, Kuala Lumpur, 1980.
23. “Islam dan Alam Melayu”, Budiman, Edisi Spesial Memperingati Abad ke-15 Hijriah, Universiti Malaya, Desember 1979.
24. “The Concept of Education in Islam”, Second World Conference on Muslim Education, Islamabad, 1980.
25. “Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science”, Zarrouq Festival, Misrata, Libia : 1980.
26. “Religion and Secularity”, Congress of the World’s Religions, New York, 1985.
27. “The Corruption of Knowledge”, Congress of the World’s Religions, Istanbul, 198http://diandhra.blogs.friendster.com/my_blog/5

Jumat, 20 Juli 2007
Syed Naquib al-attas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar